Belanja Sari di Varanasi India

Setelah tiket kereta api dari Varanasi menuju ke Kolkata ditangan, kami kembali ke guest house untuk check out. Ketimbang memperpanjang akomodasi, kami memilih berangkat ke stasiun lebih awal dan menginap di sana.

Setelah tiket kereta api dari Varanasi menuju ke Kolkata ditangan, kami kembali ke guest house untuk check out. Ketimbang memperpanjang akomodasi, kami memilih berangkat ke stasiun lebih awal dan menginap di sana. Saya rasa ini akan menghemat biaya akomodasi semalam.
Belanja Sari di Varanasi
Keluar stasiun entah kenapa saya jadi ingin mencoba sesuatu yang baru. Jadilah saya mengajak Alva untuk mencoba cycle rickshaw. Namun seorang pengemudi human rickshaw menghampiri kami dan menawarkan jasanya. Kami tidak tahu berapa harga standar untuk jarak dari stasiun ke guest house, namun si supir human rickshaw menyebutkan harga yang sangat murah. Jika dengan auto rickshaw saya membayar hingga 150 rupee, si pengemudi human rickshaw hanya minta dibayar seharga 90 rupee. Akhirnya kami setuju untuk diantar dengan human rickshaw.

Ini mungkin bakal jadi pengalaman pertama dan terakhir saya menaiki human rickshaw. Saya benar-benar tidak tega melihat bapak-bapak pengemudi rickshaw berlari di depan menarik kereta yang saya naiki. Tapi bagi masyarakat India mungkin ini hal biasa, karena saya melihat banyak human rickshaw yang hilir mudik membawa penumpang. 

Setengah jalan, pengemudi rickshaw nampak sudah sangat kelelahan. Ia meminta izin untuk berhenti beristirahat sebentar. Tentu saja saya makin tidak tega dibuatnya. Si pengemudi rickshaw kemudian menunjukkan sebuah luka di kakinya. Ia bercerita bahwa kakinya sebenarnya sedang terluka dan ia kesulitan berjalan, namun terpaksa tetap berkerja menarik rickshaw karena membutuhkan uang.

Pengemudi becak ada di depan lho
Pengemudi becak ada di depan lho
Mendengarkan cerita itu, saya jadi makin tidak tega. Saya dan Alva akhirnya bersepakat untuk turun dan meneruskan berjalan kaki hingga ke guest house. Kami tetap membayar penuh, meski kami tidak diantar sampai ditujuan. Kemudian kami meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki di tengah terik siang kota Varanasi.
Kami melintasi pasar-pasar di Varanasi. Beragam dagangan diperjual belikan di sana-sini. Saya membeli buah-buahan yang harganya sangat murah di sini. Beberapa sayuran juga diperjualkan. Saya melihat seorang pedagang dengan gerobak yang penuh bawang merah yang besar-besar. Jauh lebih besar dari bawang merah yang biasa ditemui di Indonesia.

Varanasi tidak hanya terkenal dengan Sungai Gangganya, kota ini juga dikenal sebagai penghasil kerajinan sutra. Saya melihat beberapa pengerajin sutra sedang membordir kain sutra halus dengan ornamen benang emas yang sangat indah. Dikerjakan dengan tangan, sehingga saya yakin harganyapun sangat mahal. Beberapa toko sari berjajar di pinggir jalan. Ada saja orang yang datang menghampiri kemudian menawarkan untuk mampir  ke tokonya. Biasanya mereka ini adalah calo yang akan mendapat bayaran dari pemilik toko untuk membawa turis atau pelancong berbelanja ke toko mereka. Saya dan Alva mampir ke beberapa toko sari. Berbelanja sari di sini untuk oleh-oleh mungkin tidak ada salahnya.
Alva dan Sari yang di beli
Alva dan Sari yang di beli
Harga sari-sari di Varanasi cukup mahal. Namun harga tersebut sebanding dengan kualitasnya yang memang sangat baik. Alva membeli sebuah kain sari sutra berwarna biru muda yang berharga 1200 rupee. Itu harga yang terbaik yang bisa ia dapat. Pemilik toko awalnya menaruh harga hingga diatas 2000 rupee.  Menawar adalah hal yang wajib dilakukan saat berbelanja di Varanasi. Mulailah dengan menawar dengan setengah harga, karena biasanya pemilik toko sengaja memasang harga dengan melipat gandakan harga dari yang sebenarnya. Saya sendiri memborong dua potong sari untuk oleh-oleh ketika kembali ke Indonesia nanti.
Rickshaw
Rickshaw
Terpaksa berjalan kaki karena kasihan dengan pengemudi human rickshaw, saya malah jadi keasyikan berbelanja. Tangan  saya penuh dengan kantong berisi kain sari dan juga buah-buahan. Perjalanan menuju guest house yang menghabiskan waktu lebih dari setengah jam dibawah terik matahari Varanasi tidak terasa. Sambil keluar masuk pasar, kami ingin mencoba menghilangkan rasa letih. Sesekali dikagetkan dengan sapi-sapi yang berlalu lalang dengan bebas ke dalam pasar. 

Petugas di Hostel yang ngotot minta di Foto
Petugas di Hostel yang ngotot minta di Foto
Namun perut mulai terasa lapar. Di guest house Iman pasti telah check out dan menunggu kami kembali. Kami harus segera menjemputnya untuk buru-buru mengisi perut yang sudah berteriak karena belum makan apa-apa dari pagi. Saya lupa sarapan pagi itu.
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.