Melintasi Garis Waktu Kota Tua Bagan
Perjalanan malam selama 8 jam dari Yangon menggunakan Bus JJ Ekspress terbilang nyaman. Bus besar dengan tempat duduk yang lega. Pelayanannya juga menyenangkan ada seorang pramugari yang melayani seluruh penumpang.Saya sedikit berlari ke atas Pagoda Buledi supaya tidak melewatkan momen pagi ini.
Perjalanan malam selama 8 jam dari Yangon menggunakan
Bus JJ Ekspress terbilang nyaman. Bus besar dengan tempat duduk yang lega.
Pelayanannya juga menyenangkan ada seorang pramugari yang melayani seluruh
penumpang. Pukul 05.00 pagi waktu Bagan, bus memasuki terminal dan menurunkan
penumpang di depan kantor penjualan. Pagi saya sudah di jemput pemandu wisata
saya, Nyan Lin. Agak susah menyebut nama itu berulang-ulang. Sayup-sayup
pramugari bus mempersilakan penumpang untuk turun. Begitu pintu di buka, kami
semua langsung di serbu oleh calo dan tukang ojek. Sebagai Traveler, saya salut dengan mereka
yang percaya diri menawarkan jasa hanya dengan menggunakan bahasa lokal.
Saya berusaha turun sambil mengucek-ngucek mata dan
mengambil tas punggung di bagasi. Mata saya jelalatan kekiri dan kekanan
mencari pemandu saya. Akhirnya saya menemukan seorang pria berdiri di dekat
pintu masuk kantor JJ Ekspress memegang papan putih bertuliskan nama saya.
Sembari tersenyum saya langsung menyapa, “Hai, senang bertemu anda, saya Nyan
Lin. Panggil saja saya Jerry agar lebih mudah”. Sebenarnya saya ingin bertanya
kenapa bisa berbeda jauh, tapi sudahlah. Intinya adalah memudahkan saya
memanggil dan mengingat. Jerry langsung mengajak saya masuk kedalam mobil.
“Cepat! Sebentar lagi matahari akan terbit, bukankah kamu mau malihatnya?”. Ini
adalah alasan saya menggunakan paket tur ini lebih awal dan membayar lebih
mahal karena ingin melihat matahari terbit.
Menikmati indahnya candi dan kuil di Kota Tua Bagan |
Di dalam mobil saya juga diinformasikan bahwa setelah gempa
yang terjadi di Bagan, beberapa candi dan stupa tidak bisa dikunjungi karena
rusak. Saya menyampaikan turut bersedih karena kejadian yang menimpa kota ini.
Kabarnya ada 3 orang turis yang terluka akibat jatuh saat berada di atas candi.
Selama di dalam mobil, Jerry mengingatkan saya untuk tidak sembarangan masuk
dan naik ke atas candi dan stupa yang rapuh. Dia juga menegaskan bahwa setiap
masuk ke dalam bangunan semua alas kaki harus di lepas.
Menikmati indahnya candi dan kuil di Kota Tua Bagan |
Saya sedikit berlari ke atas Pagoda Buledi supaya tidak melewatkan momen pagi
ini. Sendal saya lempar begitu saja di tangga bawah. Ternyata sudah ada
beberapa orang yang juga lebih dulu berada di sini. Masing-masing sudah dengan
senjatanya masing-masing, ada yang membawa kamera, handy cam atau hanya mengabadikan dengan mata saja. Saya agak iri
dengan pasangan di sudut kanan yang berpelukan mesra menuggu matahari terbit.
Jantung saya berdetak kencang, nafas saya terengah. Salah satu momen penting
yang hanya saya lihat di kartu pos sekarang menjadi kenyataan di depan mata.
Bahagia sekali saat matahari mulai bergerak muncul di ufuk timur. Jerry yang
dari tadi diam tiba-tiba menepuk pundak saya setelah beberapa kali jepretan
kamera. Dia menawarkan untuk mengambil foto. Dengan senyuman saya menggeleng,
sayang rasanya merusak momen indah ini dengan adanya keberadaan saya di foto
ini.
Menikmati indahnya candi dan kuil di Kota Tua Bagan |
Jerry mengajak saya menuju lokasi lain, dia mengajak
saya bersantai ke sebuah kampung. Kampung ini merupakan kampung tua yang sudah
di huni sejak abad ke 13. Pagi di sini sudah hiruk pikuk dengan aktifitas
wanita kampung yang sibuk ke sawah menggunakan pedati yang di tarik dua ekor
sapi. Anak-anak juga lalu lalang untuk pergi ke sekolah. Saya bersantai di
sebuah warung warga dan mencecap kopi vietnam yang kental dan manis, saat ingin
memesan sarapan ternyata masih belum siap. Saya sempat meminta ijin dengan
penjaga kampung untuk menumpang ke toilet. Sembari berjalan ke belakang
ternyata saya melihat aktifitas memintal kapas dan sutra sedangkan yang lain
sibuk menenun dengan alat tradisional. Tangan-tangan lincah ibu-ibu ini membuat
saya berhenti sejenak. Sayang saat saya bertanya, mereka tidak bisa menggunakan
bahasa Inggris.
Menikmati sore di Kota Tua Bagan |
Di sudut pemintal benang ada seorang nenek yang sibuk
melinting kelobot jagung, ternyata ia sedang membuat rokok yaang berisi cacahan
kayu, rumput kering dan sedikit tembakau. Ukurannya tdak main main, 2 kali
ukuran cerutu besarnya. Di hisap sembari memegang asbak dari batok kelapa dan
bisa di hidupkan atau dimatikan sewaktu waktu. Saya hanya bisa tersenyum tanpa
bisa menyapa si nenek.
Melintasi Garis Waktu Kota Tua Bagan |
Waktunya sarapan pagi, menu khas yang belum pernah
saya makan, nasi disiram minyak dan di beri garam lalu remas dengan tangan
kosong lalu ditambahkan kacang tanah rebus. Lauknya beberapa potong ayam
goreng, sambal kacang dan jambu serta sayur rebung tumis dan semangkuk sup
bening. Saya lihat, rata-rata setiap makan selalu ada rebung, entah itu di
tumis, disambal atau berkuah. Makan pagi sudah, waktunya untuk berkeliling
pagoda dan kuil yang ada di Bagan.
6 komentar
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry
sekilas saya liat candinya, itu ga jauh beda dgn yg di Indo yah. Ini berarti memang msh hubungan di masa lampau ttng budaya antara di sana dgn di sini
btw, itu nasi disiram minyak + dikasih garam itu rasanya gmn yah? wkwk aku bayangin nya ky nasi goreng yg ga digoreng :D
Masa nasik di campur minyak trus di remas pake tangan?
Enak?