Mengulas Rasa Hingga ke Jiwa
Makan bukan lagi sekadar mengisi perut,melainkan sebuah perjalanan multisensori yang melibatkan indra penciuman,penglihatan,peraba, hingga pendengaran
Makan bukan sekedar hanya kenyang dan menilai enak. Tukang Jalan Jajan ingin mengajak kamu untuk menyelami dimensi yang lebih kaya dari sebuah hidangan. Makan bukan lagi sekadar mengisi perut, melainkan sebuah perjalanan multisensori yang melibatkan indra penciuman, penglihatan, peraba, hingga pendengaran.
![]() |
Mengulas Rasa Hingga ke Jiwa |
Aroma rempah yang menguar, warna-warni bahan makanan yang memanjakan mata, tekstur yang menggelitik lidah, bahkan bunyi renyahnya gigitan dapat membangkitkan kenangan dan emosi.
Lebih dari itu, setiap suapan membawa serta cerita dan identitas.
Bahan-bahan lokal yang dipilih dengan cermat, resep turun-temurun yang dijaga, dan sentuhan tangan juru masak yang penuh dedikasi adalah bagian tak terpisahkan dari hidangan tersebut. Saat kita menikmati makanan dengan kesadaran penuh, kita terhubung dengan warisan budaya, kearifan lokal, dan bahkan sejarah panjang sebuah komunitas.
Mengulas Rasa Hingga ke Jiwa, Perjalanan Menemukan Makna dalam Setiap Gigitan
Penilaian "enak" pun menjadi lebih kompleks. Bukan hanya soal rasa di lidah, tetapi juga tentang bagaimana makanan itu diproduksi, dampaknya terhadap lingkungan, dan nilai-nilai yang diusungnya. Memilih makanan yang berkelanjutan, mendukung petani lokal, dan menghargai proses pembuatan adalah bagian dari mengulas rasa hingga ke jiwa.
Dengan demikian, makan menjadi sebuah tindakan yang lebih bermakna, yang tidak hanya memuaskan kebutuhan fisik, tetapi juga memperkaya batin dan menghubungkan kita dengan dunia di sekitar.
![]() |
Roti Cane Pak Ali Pasar Tengah |
Makanan bukan sekadar kebutuhan fisiologis. Ia adalah jendela menuju budaya, kenangan, dan emosi. Setiap suapan membawa kita pada perjalanan rasa yang tak terlupakan, mengulas bukan hanya lidah, tetapi juga jiwa.
Dalam dunia yang serba cepat ini, sering kali kita lupa untuk benar-benar menikmati makanan, terburu-buru menelan tanpa menghargai kompleksitas rasa yang ada. Mari kita luangkan waktu sejenak, menelusuri bagaimana rasa dapat menggetarkan jiwa kita.
Lalu apa yang bisa diangkat dan diceritakan atau ditulis supaya lebih menarik dan menyenangkan? Ini mungkin bisa dijadikan ide untuk menulis tentang kuliner
Rasa Sebagai Jembatan Menuju Kenangan
Pernahkah Kamu mencicipi makanan tertentu dan tiba-tiba terlempar ke masa lalu? Mungkin aroma kue buatan nenek membawa Kamu kembali ke masa kecil, atau rasa masakan ibu mengingatkan pada hangatnya rumah. Inilah kekuatan rasa sebagai pemicu kenangan. Setiap rasa yang kita kecap memiliki potensi untuk membangkitkan memori yang tersembunyi, membawa serta emosi yang terkait.
![]() |
ABC Ais Batu Campur |
Dalam konteks ini, makanan bukan hanya tentang rasa di lidah, tetapi juga tentang rasa di hati. Ia adalah kapsul waktu yang membawa kita pada momen-momen berharga dalam hidup. Oleh karena itu, menghargai setiap suapan berarti menghargai kenangan yang menyertainya.
Rasa Sebagai Ekspresi Budaya
Setiap daerah memiliki kekayaan kuliner yang unik, mencerminkan identitas dan tradisi masyarakatnya. Makanan adalah bahasa universal yang menghubungkan kita dengan budaya lain. Melalui rasa, kita dapat memahami sejarah, nilai-nilai, dan cara hidup suatu bangsa.
![]() |
Ayam dan Bebek Penyet ala Indonesia |
Misalnya, rendang bukan hanya hidangan lezat, tetapi juga simbol kekayaan rempah-rempah Nusantara dan keahlian memasak masyarakat Minangkabau. Sushi bukan sekadar nasi dan ikan mentah, tetapi juga representasi seni dan filosofi Jepang. Dengan mencicipi hidangan dari berbagai belahan dunia, kita memperluas wawasan dan menghargai keragaman budaya yang ada.
Rasa Sebagai Bahasa Emosi
Makanan juga merupakan cara kita mengekspresikan dan merespons emosi. Saat sedih, kita mungkin mencari makanan yang menenangkan seperti cokelat atau es krim. Saat bahagia, kita merayakan dengan hidangan istimewa bersama orang-orang terkasih. Makanan menjadi penghibur, teman, dan bahkan pelarian.
Namun, penting untuk diingat bahwa makanan bukanlah solusi untuk semua masalah emosional. Menggunakan makanan sebagai pelarian yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental.
Gudeg dan Sambal Krecek |
Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan hubungan yang sehat dengan makanan, menghargai fungsinya sebagai sumber nutrisi dan kesenangan, tetapi tidak menjadikannya satu-satunya cara untuk mengatasi emosi.
Mengembangkan Kepekaan Rasa
Seperti halnya indra lainnya, kepekaan rasa dapat diasah. Berikut adalah beberapa cara untuk mengembangkan kepekaan rasa
1. Makan dengan penuh perhatian
Luangkan waktu untuk benar-benar menikmati setiap suapan. Perhatikan tekstur, aroma, dan rasa yang berbeda. Hindari gangguan seperti menonton televisi atau bermain ponsel saat makan.
2. Bereksperimen dengan berbagai rasa
Jangan takut untuk mencoba hidangan baru dan bahan-bahan yang belum pernah Kamu coba sebelumnya. Semakin banyak rasa yang Kamu kenal, semakin kaya pengalaman kuliner Kamu.
3. Memasak sendiri
Memasak memungkinkan Kamu untuk lebih memahami bagaimana berbagai bahan berinteraksi dan menghasilkan rasa yang berbeda. Kamu juga dapat menyesuaikan rasa sesuai dengan preferensi Kamu.
4. Mengunjungi pasar tradisional
Pasar tradisional adalah surga bagi pecinta kuliner. Di sana, Kamu dapat menemukan berbagai bahan segar dan unik yang tidak tersedia di supermarket biasa.
5. Berbicara tentang rasa
Diskusikan pengalaman kuliner Kamu dengan orang lain. Berbagi pendapat dan pengalaman dapat memperkaya pemahaman Kamu tentang rasa.
Rasa dan Kesehatan Jiwa
Hubungan antara rasa dan kesehatan jiwa sangat erat. Makanan yang kita konsumsi dapat memengaruhi suasana hati, tingkat energi, dan fungsi kognitif. Diet seimbang yang kaya akan nutrisi penting dapat mendukung kesehatan mental dan emosional.
![]() |
Sate Padang |
Sebaliknya, pola makan yang tidak sehat dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, penting untuk memilih makanan yang tidak hanya enak, tetapi juga baik untuk kesehatan jiwa.
Etika dalam Mengulas Kuliner
Mengulas kuliner bukan sekadar mencicipi dan memberikan penilaian singkat. Lebih dari itu, terdapat etika yang mendasari agar ulasan menjadi bermanfaat dan bertanggung jawab. Kejujuran adalah fondasi utama. Setiap ulasan hendaknya didasarkan pada pengalaman nyata dan apa adanya, tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi fakta.
![]() |
Mie Goreng Mamak |
Objektivitas juga krusial. Meskipun selera bersifat personal, seorang pengulas yang baik berusaha untuk memisahkan preferensi pribadi dari penilaian kualitas makanan, pelayanan, dan suasana secara keseluruhan.
Penting untuk memberikan kritik yang membangun, bukan sekadar mencela. Jika ada kekurangan, sampaikan dengan bahasa yang sopan dan disertai alasan yang jelas. Jika merasa tak elok dituliskan bisa langsung disampaikan kepada pemilik atau pengelola.
Sebaliknya, apresiasi yang tulus terhadap kelebihan patut diungkapkan. Mengingat bahwa di balik setiap hidangan terdapat kerja keras dan dedikasi, seorang pengulas hendaknya menghargai usaha tersebut.
![]() |
Tukang Jalan Jajan |
Selain itu, transparansi adalah aspek penting lainnya. Jika Kamu menerima kompensasi atau undangan khusus, hal ini perlu diungkapkan agar pembaca dapat menilai objektivitas ulasan.
Terakhir, hindari menyebarkan informasi yang belum terverifikasi atau berpotensi merugikan pihak lain. Dengan menjunjung tinggi etika ini, ulasan kuliner dapat menjadi panduan yang terpercaya dan berkontribusi positif bagi perkembangan industri kuliner.
58 komentar
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry
Dan memang, dari sebuah kuliner itu banyak hal tercipta. Semua indra akan bisa merasakan. Dari mata, hidung, lidah, lalu semuanya turun ke hati, menciptakan kesenangan dan kebahagiaan tersendiri. apalagi setiap masakan, melalui proses yang dibumbu dengan cinta juga.
Betul banget paa, soal makan ini benar-benar membangkitkan berbagai kenangan dalam kehidupan. Saat saya menggigit satu buah peyek ingatan saya langsung menembus quantum waktu menuju ke masa lalu.
Saya jadi teringat ibu yang selalu membuat peyek dengan sempurna versi saya. Peyek ibu saya enaaak sekali dan dibuat dengan tahapan yang teliti.
Sampai sekarang saya belum bisa membuat peyek seperti peyek bikinan ibu. Ah bener-bener yaa , makanan itu bukan hanya sekedar makan tapi banyak hal-hal lain yang berhubungan dengannya.
Btw Bang Don ada channel YouTube kah?
Mungkin ini juga bagian dari etika ya. Aku nggak tahu sih apakah si selebritis ini bilang sama pemilik usaha kalau memang kontennya tidak bisa tayang karena tidak sesuai dengan seleranya.
Harusnya bilang sih ya. Jadi, si pemilik usaha bisa berbenah. Siapa tahu saat nanti berkunjung lagi makanannya sudah ada perubahan malah jadi enak banget.
Terus, aku juga pernah liat konten seseorang. Kayaknya dia juga fokus di konten kuliner.
Katanya, untuk menggambarkan rasa makanan tidak harus bilang enak. Karena soal itu kan selera.
Ada bahasa khususnya. Sayangnya, aku lupa apa saja diksi yang digunakan.
Cuma waktu itu, aku jadi paham sih. Pada dasarnya, kita bisa tetap mengerti kok maksud dari mereka tentang rasa makanannya kalau pakai diksi-diksi tersebut.
Perlu belajar banyak lagi nih cara menilai makanan baik dai segi rasa, tampilan maupun etikaya juga
Smg kita mampu memberikan pengetahuan kpd pembaca, sekaligus kita sendiri jg trs belajar utk memberikan review yang terbaik, tanpa menyinggung kekurangan berlebih dari pemilik usaha.
Jadi reviewer tetap ada etika kan?
Nikmati setiap santapannya
Bukan mencari kesalahan atau kekurangannya.
Bila membandingkan, bandingkan jenis makanan yang ada di resto yang sama, bukan yang berbeda. Itupun juga sebisa mungkin pakai bahasa yang tetap positif bukan negatif
para food blogger tuh menurutku emang keren sih, dari foto dan tulisan bisa bikin yang lihat lewat hp doang mupeng wkwk
Saat makan biasanya saya pelan2 banget menikmatinya. Memang benar, saat cita rasa makanan itu bermain2 di lidah, ada kayak kesukariaan yang dirasakan dalam hati. Bahkan bisa memperbaiki mood loh klo pas ketemu kuliner yang wow banget gitu rasanya.
Malah nanti terkesan menjatuhkan kalo kita tak memiliki indera yang lengkap sbg pengulas makanan. Krn sbg pengulas, tentu melibatkan smua indera, terutama pengecap yang super keren. Shg tak hanya bs mencicipi secara pribadi tapi mewakili lidah masyarakat.
Aku jadi inget film animasi anak "Ratatouille".
Bahkan sang kritikus makanan mendadak jatuh cinta dan gak bisa berkata-kata karena disajikan menu makanan saat ia masih kecil. Dengan citarasa yang sesungguhkan, makan bisa membangkitkan berjuta kenangan yang terpendam di pandora box.
Pedomanku yang utama adalah hadis Rasulullah, yang intinya: jangan mencela makanan (dan minuman).
Jangan 'aji mumpung' apalagi memancing di air keruh.
kayak ulah food blogger yg justru me-review negatif (dgn dalih honest review) dan justru melakukan pemerasan kepada owner kuliner. BIG NO! Beneran ngga berkah kalo kerjanya seperti itu.
Wajar bagi mereka makanan bukan sekadar kebutuhan fisiologis. Tapi juga ibarat jajan atau jendela menuju budaya, kenangan, dan emosi.
Dipercaya bagi para pengulas setiap suapan membawa mereka pada perjalanan rasa yang tak terlupakan, mengulas bukan hanya lidah, tetapi juga jiwa. Keren banget filosofi nya
Ia adalah jendela menuju budaya, kenangan, dan emosi.<< kalimat ini menurutku sangat tepat diantara semua kata yang begitu baik memberi makna.
Makan bukan hanya sekedar memuaskan raga tapi jauh dari itu, buktinya ada kalimat "what you are, what you eat" , memberi makna bahwa kehidupan diri tergantung bagaimana makan.
Ada banyak bukti membenarkan apa yang dirimu tulis, termasuk juga bagaimana menghargai makanan, disanalah sumber rejeki.
Sekali lagi, terima kasih sudah menulis dengan indah.
Ia adalah jendela menuju budaya, kenangan, dan emosi.<< kalimat ini menurutku sangat tepat diantara semua kata yang begitu baik memberi makna.
Makan bukan hanya sekedar memuaskan raga tapi jauh dari itu, buktinya ada kalimat "what you are, what you eat" , memberi makna bahwa kehidupan diri tergantung bagaimana makan.
Ada banyak bukti membenarkan apa yang dirimu tulis, termasuk juga bagaimana menghargai makanan, disanalah sumber rejeki.
Sekali lagi, terima kasih sudah menulis dengan indah.
Utk bisa melawan 20 chef senior, mereka diharuskan membuat makanan yang paling enak menurut mereka. Dan hasilnya akan dinilai oleh chef ternama dan pemilik resto/hotel michelin bintang 3.
Yang menarik, mereka selalu menanyakan apa yang membuat masakan ini begitu menarik dan mengapa Anda membuatnya. Kalo jawabannya menarik dan sesuai dgn hasil masakannya jg menarik, maka dia akan lolos utk ronde berikutnya.
Ternyta memberi komentar masakan org lain pun ada etika. Ga sekadar ceplas-ceplos yang bahkan merendahkan pemilik usaha. Alhasil, malah bikin bangkrut usaha tsb. Itu kan malah bahaya.
Di situlah kita harus belajar etika utk memberikan komentar apapun, tak terkecuali menilai masakan org lain.
Padahal, kalau dipikir-pikir, makanan tuh punya kekuatan besar—bisa bikin nostalgia, bisa jadi bentuk ekspresi, bahkan bisa ngaruh ke mood kita. Dan bener banget soal makanan sebagai kapsul waktu, kayak pas lagi makan opor ayam di Lebaran, langsung berasa flashback ke momen kumpul keluarga.
Dan setuju banget perihal etika dalam mengulas kuliner. Kadang kita cuma bilang “enak” atau “nggak enak” tanpa mempertimbangkan bagaimana makanan itu dibuat atau siapa yang bekerja keras di baliknya.
Tapi membahasnya secara mendetail, sungguh bisa mengajak orang untuk ikutan makan di resto yang dimaksud.
Ulasan mas Don selalu begini siiyh.. Jadi sangat membantu sekali ketika seseorang membutuhkan informasi kuliner yang enak, menurut ahlinya.
Artikel ini benar-benar membuka mata tentang bagaimana makanan bisa menjadi jembatan ke masa lalu dan budaya. Setiap hidangan punya kisah, dan dengan menikmati makanan dengan kesadaran penuh, kita bisa lebih menghargai warisan kuliner yang ada. Terima kasih atas perspektif barunya ya.
Aku setuju klo review kuliner itu harus objektif, dan kalopun ada kekurangan agar disampaikan dengan bahasa yang baik.
jadi keinget sama berita beberapa bulan lalu, yang ngakunya reviewer makanan tapi menjelek-jelekkan brand yang ia datangi
Makan secara perlahan, meresapi setiap rasa, itu juga mulai aku lakuin. Dengan begitu bisa fokus dengan bermacam rasa yg dicoba dan syukur2 bisa mengecap bahan apa saja yg dipakai.
ntw iya betul kadang tuh kalau dibilang enak aja bingung jadinya. Aku suka kalau dijelasin gini jadi ada gambaran lrbih trntang makanan ini gitu.
Ada rasa juga yang harus kita libatkan, dan tentu tetap beretika ya