Rumah Kasih Bunda Teresa, Antara Haru dan Bahagia

rumah Bunda Teresa yang ada di Kolkata. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar dua kilometer dari Sudder Street. Saya putuskan untuk pergi ke sana dengan berjalan kaki.
Rumah Kasih Bunda Teresa, Antara Haru dan Bahagia. Sarapan pagi saya di Kolkata adalah di sebuah restoran kecil di Sudder Street. Menu sederhana yaitu Paneer Parata ditemani dengan sepotong omelet. Kopi adalah pesanan wajib untuk melengkapi sarapan saya pagi itu. Tampaknya restoran itu memang melayani menu untuk sarapan. Di daftar menu di dinding, menu-menu utama baru akan hadir menjelang siang.
Rumah Kasih Bunda Teresa, Antara Haru dan Bahagia
Rumah Kasih Bunda Teresa, Antara Haru dan Bahagia
Rencana saya pagi itu adalah mengunjungi rumah Bunda Teresa yang ada di Kolkata. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya sekitar dua kilometer dari Sudder Street.  Saya putuskan untuk pergi ke sana dengan berjalan kaki. Mumpung masih pagi dan hari belum terlalu panas. Peta penunjuk arah yang ada di aplikasi ponsel, saya jadikan andalan untuk bisa sampai kesana tanpa halangan.
Sarapan pagi di Sudder Street, Kolkata
Sarapan pagi di Sudder Street, Kolkata
Saya memulai perjalanan dengan melihat gelandangan-gelandangan Kolkata mandi dengan mesin pompa di pinggir jalan. Mereka tidak punya rumah, sehingga segala aktivitas mereka lakukan dipinggir jalan. Makan, tidur hingga mandi sekalipun. Tidak ada perasaan risih mereka meski begitu banyak orang yang berlalu-lalang. Tidak pula mengusik orang-orang di sekitar tempat itu yang sudah menganggapnya sebagai hal biasa.

Perjalanan saya mengikuti penunjuk arah menuju rumah Bunda Teresa malah membawa saya menembus pasar pemukiman muslim. Mudah sekali menemukan laki-laki bergamis sambil berpeci putih hilir mudak. Banyak pula perempuan berjilbab dan bercadar. Simbol-simbol keislaman juga kentara, termasuk juga bendera bulan bintang Pakistan dan bangunan masjid.
Jalanan pagi hari di Kolkata, India
Jalanan pagi hari di Kolkata, India
Diantara deretan lapak toko-toko yang saya lewati, saya menemukan sebuah toko penjual teh. Saya ingat India juga terkenal dengan tehnya. Dan salah satu varian teh paling terkenal dari India adalah teh asal Darjeling, sebuah kota di utara Kolkata. Saya berniat membeli untuk oleh-oleh. Benar saja, harga teh Darjeling memang jauh lebih mahal dibanding teh-teh lainnya. Harga untuk satu kilogram teh Darjeling dihargai 800 rupee. Jauh sekali jika dibandingkan dengan 200 rupee harga sekilo teh yang biasa digunakan untuk membuat chai, teh campur susu khas India. 
Penjual teh di Kampung Arab, kolkata
Penjual teh di Kampung Arab, kolkata
Berjalan lebih jauh mengikuti penunjuk arah saya melintasi berbagai pedagang yang unik. Ada penjual samosa, pedagang ayam bahkan di pasar ini saya akhirnya menemukan pedagang yang menjual daging sapi. Sapi adalah salah satu hewan yang disucikan dalam kepercayaan Hindu sehingga tidak ada umat Hindu yang berani membunuh apalagi memakannya. Karena itulah saya tak sekalipun menu makanan berbahan dasar daging sapi selama perjalanan saya di India. Baru di Kolkata akhirnya saya menemukan daging sapi yang dijual. Harganya terbilang lamayan murah dibanding di Indonesia. Sekilo daging sapi hanya seharga 450 rupee.
Penjual kelapa pinggir jalan di gang kecil, Kolkata
Penjual kelapa pinggir jalan di gang kecil, Kolkata
Saya terus berjalan hingga saya akhirnya tiba disebuah jalan besar. Saya lalu berbelok ke kanan sesuai petunjuk arah di ponsel. Dari sini sudah tidak jauh lagi jarak menuju rumah Bunda Teresa. Tidak sulit mencari jalan menuju ke rumah Bunda Teresa karena orang-orang yang saya tanya semua menunjukkan arah kemana saya harus menuju.
Pintu masuk menuju rumah Mother Teresa
Pintu masuk menuju rumah Mother Teresa
Saya tiba di sebuah bangunan dengan bata berwarna abu-abu bersusun sebagai dinding. Itulah pintu masuk menuju rumah Bunda Teresa, tokoh kemanusiaan yang pernah mendapat nobel perdamaian karena aksi-aksi kemanusiaan yang dilakukannya untuk menolong masyarakat miskin dan gelandangan di Kolkata. Perasaan saya sunggung bahagia menemukan tempat ini. Begitu datang saja, aura kesejukan sudah langsung terasa. Saya tidak sabar untuk melihat tempat ini. Perasaan saya campur aduk.

Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.