Kolkata, Perjalanan di India Berakhir
terus berjalan menyusuri jalan-jalan di Kolkata. Salah satu kota terbesar itu tampak sangat tua dengan bangunan-bangunan bergaya kolonial yang masih dipertahankan hingga sekarang
Kolkata, Perjalanan di India Berakhir. Senja semakin tampak nyata, matahari mulai merangkak turun. Mobil, motor dan manusia memenuhi jalan di kolkata. Nafas semakin terasa sesak dan langkah makin tak leluasa. Tubuh sudah lelah namun semua harus diselesaikan karena hari ini India akan ditinggalkan dengan sejuta kenangan.
![]() |
Kolkata, Perjalanan di India Berakhir |
Saya sempat hendak mampir ke Indian Museum yang berada
tidak jauh dari Sudder Street. Harga tiketnya lumayan mahal yakni 400 rupee
untuk turis asing. Namun seorang turis yang baru keluar mengatakan bahwa museum
itu sedang mengalami renovasi sehingga tidak semua bagian bisa dikunjungi.
Terlebih mengingat waktu saya yang terbatas, saya akhirnya memutuskan untuk
tidak masuk ke museum dan hanya berkeliling di sekitar Kolkata.
bangunanGaya Kolonial di Kolkata |
Saya lantas mengunjungi New Market. Di sini, lebih banyak
lagi pedagang dan kios yang menjual bermacam jenis barang. Mulai dari sari,
pakaian, perhiasan, keramik bunga-bunga, hingga cemilan khas India. Calo-calo
berkeliaran dan menuntun saya masuk ke toko-toko. Mereka biasanya meminta tips
atas jasa yang terkadang tidak kita minta. Jadi berlaku tegaslah dengan mereka.
Penjual permadanipun banyak di sini.
New Market, Kolkata India |
Saya terus berjalan menyusuri jalan-jalan di Kolkata.
Salah satu kota terbesar itu tampak sangat tua dengan bangunan-bangunan bergaya
kolonial yang masih dipertahankan hingga sekarang. Di sana-sini banyak pengemis
dan gelandangan yang berkeliaran. Jalan-jalan ramai dengan kendaraan, sehingga
senantiasa waspada ketika menyeberang jalan. Meski sepengalaman saya
jalan-jalan Kolkata jauh lebih “beradab” dibanding kota-kota lainnya di India,
namun tetap saja lebih semerawut dibanding jalan-jalan di Indonesia. Setidaknya
di Indonesia tidak ada yang memainkan klakson seenak hatinya.
Memasuki jalan yang berbeda, saya mendapati dagangan yang
berbeda pula. Ada lorong yang sepanjang jalannya menjual perangkat ponsel dan
jasa perbaikan ponsel. Di sini saya menjual baterai ponsel dijual ketengan dan
diobral. Begitupun atribut ponsel lainnya. Masuk lebih dalam, dagangan berubah
menjadi perabotan elektronik. Masuk ke jalan lain berubah menjadi spare part
mesin dan alat-alat pertukangan. Berbelok ke jalan lain menjual perabotan rumah
tangga. Jalan-jalan itu tidak ubahnya seperti pasar loak yang banyak terdapat
di Indonesia namun jauh lebih luas.
Pedagang Kaki Lima, New Market India |
Kolkata seperti sebuah pasar yang tidak ada habisnya.
Tiap jalur jalan kita akan menemukan pedagang-pedagang dengan barang
dagangannya yang berbeda. Saya tidak punya banyak waktu untuk berkeliling lebih
jauh karena Kolkata sesungguhnya jauh lebih luas dari yang saya bisa jangkau
dengan berjalan kaki dari Sudder Street. Kolkata adalah pusat bisnis dan
perdagangan terbesar di timur India, tidak heran konon katanya penduduk kota
itu mencapai dua miliar.
Hari menjelang malam, saya bersegera kembali untuk
mengambil ransel dan mencari taksi untuk menuju airport. Saya sempat makan
malam bersama Iman dan Alva. Namun kali ini kami memilih mencoba street food
yang ada di sekitar Sudder Street. Fried Rice dan Chow Mie (semacam mie khas
India) dengan toping ayam dan sea food menjadi pilihan kami. Harganya sangat terjangkau,
jauh dibawah harga bila kita makan di restoran. Banyak yang bilang mencoba
street food di India cukup beresiko untuk perut, namun syukurlah, sepanjang
perjalanan saya di India, tidak ada pengalaman buruk yang saya alami ketika
mencoba street food ini. Tentu saja selain rasanya yang tidak cocok di lidah
saya. Entah itu Samosa, Katchori, Golgapa atau bah Chow mie.
Penjual Chow Mien di New Market |
Saya berpamitan kepada dua teman saya itu. Mereka telah
menemani saya dari Jaipur dan Agra hingga tiba di Kolkata. Saling bertukar
kontak dan sosial media sehingga kami bisa tetap saling terhubung ketika telah
kembali ke rumah masing-masing.
Makan Malam terakhir di Kolkata, India |
Pukul sembilan saya menyetop taksi. Harga 400 rupee
adalah harga yang saya sepakati dengan supir taksi untuk membawa aiport. Harga
taksi di Kolkata di malam hari memang lebih mahal ketimbang di siang hari.
Taksi melaju dan saya bersiap meninggalkan Kolkata.
Ini adalah akhir perjalanan saya selama di India. Kisah seribu satu berbalut
cerita dengan berbagai jenis rupa karakter. Hidup mengajarkan saya untuk
menjadi manusia yang bertoleransi. Makhluk sosial yang tak mampu hidup sendiri.
16 komentar
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry
Byw maaf ya mas, dikomen sebelumnya saya manggilnya mbak ^^v
Namanya unik dan pasti ada sejarah di balik nama uniknya tersebut.
((awalnya di mindset aku, namanya Kalkuta))