Varanasi, the Land of Shiva

Stasiun Mughalsarai mungkin adalah stasiun kereta api yang paling sibuk dan luas dibandingkan stasiun kereta api di kota-kota lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Jaipur Juction Railway Station terbilang kecil meski lebih rapi.

Tukang Jalan Jajan terbangun ketika matahari sudah naik. Mungkin karena faktor kelelahan, tidur saya tadi malam sangat nyenyak. Dan pagi itu, saya terbangun dengan tubuh yang kembali segar. Dalam kondisi normal, pagi hari biasanya saya isi dengan mandi dan bersih-bersih diri. Namun toilet kereta api kondisinya sangat menyedihkan. Hanya berbentuk lubang yang tampaknya dibuang langsung ke atas rel. Pantas saja rel-rel di sekitar stasiun biasanya tercium aroma pesing yang tidak sedap. Jika tidak terpaksa, saya tidak akan mau menggunakan toilet kereta.

Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Iman dan Alva juga sudah bangun. Berth yang berada di tengah kami lipat dan dijadikan sandaran, sehingga berth paling bawah bisa menjadi kursi yang bisa di duduki oleh kami bertiga. Sengaja saya memilih menggunakan kelas AC mengingat perjalanan kali ini cukup panjang.

Duduk di berth di depan saya seorang pemuda yang berparas oriental. Saya menduganya jika tidak Jepang tentu Korea. Ia naik bersama-sama kami di stasiun Tundla. Namun karena tubuh yang terlalu lelah, kami tidak sempat saling berkenalan tadi malam. Maka pagi itu kami akhirnya berkenalan.

Jalanan di Varanasi dan sapi dibiarkan di tengah jalan
Jalanan di Varanasi dan sapi dibiarkan di tengah jalan
Ternyata tepat dugaan saya. Pemuda di depan saya itu ternyata berasal dari Jepang. Yuma namanya, seorang pelajar. Ia bertraveling sendirian di India setelah sebelumnya mengikuti semacam kegiatan pertukaran pelajar di Penang, Malaysia. Saya yang sempat beberapa kali ke Penang, akhirnya jadi akrab karena bercerita banyak hal tentang pengalaman kami masing-masing selama di Penang.

Namun sayangnya, pengalaman menyenangkan Yuma di Penang, tidak ia dapatkan selama bertraveling di India. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di negeri Mahatma Ghandi itu ia sudah jadi bahan bulan-bulanan dari sebuah travel agent abal-abal. Ia bercerita membayarkan sejumlah uang yang menurut saya jumlahnya cukup besar kepada travel agent, namun tidak mendapat pelayanan yang memadai. Malah ia dimintai segepok ongkos tambahan yang tidak masuk akal. Bukan cuma itu, ia juga ditakut-takuti oleh pihak travel agent yang mengatakan bahwa turun ke jalan pada perayaan Holi sangat berbahaya, sehingga Yuma sempat merasakan perayaan Holi di hotel selama seharian. Padahal sepengalaman saya, untuk Jaipur rasanya tidak ada yang berbahaya. Memang beberapa orang di jalanan kadang tanpa tedeng aling-aling “menghajar” kita dengan balon air berwarna. Tapi dalam nuansa festival Holi ya dinikmati sajalah. Toh tidak sampai membuat kita terluka.

Jalanan di Varanasi dan sapi dibiarkan di tengah jalan
Jalanan di Varanasi dan sapi dibiarkan di tengah jalan
Tidak ada yang bisa dikerjakan selama di kereta selain tidur dan ngobrol dengan penumpang lainnya. Saya dan Yuma cepat jadi akrab. Begitupun dengan beberapa penduduk lokal lainnya. Kebanyakan orang India, khususnya di perkotaan, cukup baik penguasaan bahasa Inggrisnya. Namun di daerah pedesaan banyak pula yang hanya bisa menggunakan bahasa Hindi. Seperti halnya Indonesia, India juga memiliki banyak suku dan bahasa. Keberadaan bahasa Hindi menjadi bahasa pemersatu yang digunakan oleh hampir seluruh masyarakat India. Beberapa hari di India, saya mulai mengenal beberapa kosa kata sederhana. Misalnya Ek yang berarti satu, Do yang berarti dua,  Sab untuk memanggil seseorang yang usianya lebih tua, dan Chalo untuk menyuruh atau mengajak orang lain untuk pergi.

Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Beberapa pedagang mulai dari yang menjual air minum, chai hingga paket sarapan hilir mudik tanpa henti. Saya benar-benar tidak tertarik untuk makan, sehingga akhirnya hanya memesan segelas Chai, teh bercampur susu segar khas India. Sekadar penunda lapar saya memakan Petha yang sempat kami beli di Agra. Manisan ini sungguh manis, makanya saya yakin kebutuhan kalori saya sudah terpenuhi dengan memakannya. Saya hanya ingin segera tiba dan barulah makan besar saat lunch nanti.

Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Kereta akhirnya tiba di stasiun Mughalsarai ketika hari menjelang siang. Perjalanan dari Tundla menuju Mughalsarai menghabiskan waktu hampir dua belas jam perjalanan. Ini boleh dibilang sebagai perjalanan terpanjang kami yang pertama, karena Delhi, Jaipur dan Agra yang terkenal sebagai golden triangle itu jaraknya tidak terlalu berjauhan. Salah seorang turis asal Thailand yang sempat kami temui ketika merayakan Holi di Jaipur, memfokuskan perjalanannya di tiga kota ini saja. Tampaknya ia menikmati waktu yang memuaskan mengeksplor tiga kota tersebut. Memang sih, mengembara di India tidak boleh terlalu muluk-muluk. Dan rencana saya menjelajah lima kota dalam sembilan hari saya sadari terlalu ambisius. Akibatnya saya seringkali harus kejar-kejaran dengan waktu, padahal begitu banyak hal yang bisa dinikmati ditiap kota yang saya singgahi di India.

Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Bagian dalam Kuil Hindu memuja sapi di Varanasi
Stasiun Mughalsarai mungkin adalah stasiun kereta api yang paling sibuk dan luas dibandingkan stasiun kereta api di kota-kota lain yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Jaipur Juction Railway Station terbilang kecil meski lebih rapi. Agra Fort Railway Station-pun meski dilihat dari bagunannya tampaknya telah berdiri sejak jaman kolonial namun tak cukup luas. Namun station Mughalsarai terbilang sangat luas dengan jumlah platform yang sangat banyak. Mungkin hanya kalah dibanding dengan Stasiun Howrah yang nantinya akan jadi perhentian saya di Kolkata. Tak hanya besar, Mughalsarai juga merupakan salah satu stasiun kereta tersibuk di India dan nyaris tidak pernah tidur. Tapi sepengalaman saya sih semua stasiun kereta api di India memang selalu sibuk.

Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.