Menikmat Sebujit di Perbatasan Dua Negara

Saatnya menuju dusun Hlu Buei, desa Sebujit, kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pukul delapan pagi perjalanan kami dimulai dari Pontianak menuju Bengkayang. Kecepatan kendaraan 80-100 km/jam. Jalan yang cukup mulus membuat kami lebih gampang melewatinya.


Menikmati budaya yang beragam di Indonesia sebagai bentuk perayaan Ke-bhineka tunggal ika-an menjadi kebanggaan dan sebagai bentuk kecintaan terhadap bangsa dan negara. Indonesia memiliki banyak suku bangsa dan budaya yang tersebar diberbagai pulau. Semuanya mempunyai ciri khas dan tentu saja menarik untuk dilihat dan dinikmati. Saya sendiri berusaha untuk datang dan menikmati pada saat ada perayaan. Pasti seru karena banyak sekali hal unik muncul.

Perjalanan Menuju Sebujit
Perjalanan Menuju Sebujit
Mari kita ubah sedikit pandangan mengenai jalan-jalan yang terlalu identik dengan berbelanja dan berfoto saja. Ada banyak hal yang menarik di Indonesia yang bisa dinikmati. Pernahkan kita mencoba melihat kebudayaan Indonesia yang sangat indah dan beragam hingga mampu menarik wisatawan mancanegara datang menikmati budaya kita. Bahkan saking cintanya mereka memilih tinggal di Indonesia. Harusnya sebagai warga indonesia kita jangan sampai kalah dengan wisatawan mancanegara dong. Jangan sampai pariwisata kita dikenal di dunia tapi saat ditanyakan langsung kepada kita yang notabenenya orang Indonesia malah tidak tahu. 

Balug dan Kampung Sebujit
Balug dan Kampung Sebujit
Ada banyak alasan kenapa budaya sangat menarik bagi saya. Diantaranya Bahasa, Masyarakat, Kerajinan tangan, Makanan dan kebiasaan makan, Musik dan kesenian, Sejarah suatu tempat, Cara Kerja dan Teknologi, Agama yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan, Bentuk dan karakteristik arsitektur di masing-masing daerah tujuan wisata, Tata cara berpakaian penduduk setempat, Sistem pendidikan  dan Aktivitas pada waktu senggang.

Wanita Sebujit
Wanita Sebujit
Saya mau sedikit menantang diri dengan perjalanan wisata seru yang agak jauh. Bukan pantai, gunung apalagi mall. Bagaimana dengan daerah perbatasan Indonesia – Malaysia? Saya ajak anda untuk melikmati betapa serunya perjalanan ke sebuah kampung didaerah perbatasan. Sembari membatu program pemerintah untuk mengembangkan daerah terluar, terjauh dan terluar Indonesia dengan mengembangkan potensi pariwisatanya. Mari mencari tahu bagaimana kehidupan serta budaya yang masih mereka pegang teguh sampai sekarang di saat zaman yang sudah modern seperti ini.

Balug di Sebujit
Balug di Sebujit
Saatnya menuju dusun Hlu Buei, desa Sebujit, kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Pukul delapan pagi perjalanan kami dimulai dari Pontianak menuju Bengkayang. Kecepatan kendaraan 80-100 km/jam. Jalan yang cukup mulus membuat kami lebih gampang melewatinya. Berlanjut lagi menuju Seluas melewati Sanggau Ledo sekitar dua jam perjalanan. Dari sana saya masih dimanjakan dengan jalan lurus dan mulus menuju Simpang Takek. Sampai disini kami sudah  melewati 209 Kilometer. Walaupun mulus, perjalanan enam jam ini benar melelahkan. Terlalu lama duduk membuat engsel pinggang hampir lepas. Kami berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar, meluruskan pinggang dan tentu saja makan siang.

Pria Sebujit
Pria Sebujit
Mungkin inilah yang namanya melewati lembah, melompati jurang dan menyeberangi sungai. Awalnya melewati jalan pasir batu, jika tidak hati-hati ban sepeda motor bisa saja terpeleset dan membuat pengendara terjatuh jika tidak seimbang. Batu kerikil tajam ini bisa saja terpelanting menghantam wajah. Pastikan kaca helm terpasang dengan baik. Jangan sampai terjatuh karena batu kerikil ini sangat tajam bisa melukai tubuh. Saya terus bersemangat bersama gank penjelajah nusantara. Semangat terus terbakar hingga sampai akhir.

Perjalanan ini memakan waktu 2 jam, bahu membahu saling bekerjasama jika ada motor yang tiba-tiba tidak bisa jalan terperosok ke dalam lubang atau motor yang tidak mampu mendaki karena beban yang berat maka beban yang akan dialihkan ke motor lain. Sampai akhirnya kami melewati satu jembatan kecil terakhir dan satu tanjakan yang cukup tinggi. Pintu gerbang penyambutan terpampang nyata.

Saya kaget, ternyata desa ini sudah cukup memiliki kesadaran wisata yang cukup tinggi, walaupun jauh dari kota dan dengan aliran listrik yang menyala hanya dari pukul 5 sore hingga 6 pagi kampung ini sudah memiliki 18 homestay yang terbuat dari kayu, bambu dan atap daun yang terlihat hommy dan kokoh. Fasilitasnya juga sudah cukup baik untuk kampung di tengah hutan. 1 buah kamar lengkap dengan kasur yang muat untuk 3 orang, lampu listrik lengkap dengan colokan serta kamar mandi dan toilet didalam rumah. Di bagian depan rumah sudah disediakan bangku panjang untuk bersantai. Tiap rumah dihubungkan dengan jembatan kayu panjang yang tersambung dan bermuara pada rumah adat dan kampung. Untuk masalah makan, penduduk kampung akan menyediakan makan 3x sehari sesuai dengan permintaan.

Panjat Pinang Terbalik
Panjat Pinang Terbalik
Saat kami tiba dikampung ini ada perhelatan budaya bernama Nyobeng. Nyobeng sendiri berasal dari kata Nibakng yang merupakan ritual adat ucapan syukur atas panen berlimpah dan juga ritual memandikan kepala hasil “ngayau” dulu. Ngayau merupakan tradisi perang dan mengambil kepala musuh untuk di bawa pulang ke desa sebagai bukti kemenangan.  Sesampai di kampung biasanya akan diadakan ritual penyambutan, setelah itu kepala akan disimpan di atas bambu yang ada disebelah balug, kemudian para pejuang akan memanjat bambu dengan posisi terbalik untuk menunjukkan kekuatan mereka. Setelah itu, kepala akan di simpan di kotak kayu. Kotak kayu akan disimpan diatas bumbung balug. Kepala ini di yakini akan menjadi penjaga  kampung serta harus dimandikan dan di beri sesaji sebagai bentuk penghormatan setiap tahunnya.

Nyobeng berlangsung selama tiga hari. Lokasi pelaksanaan ritual adat ini dilakukan di rumah  adat bernama Balug. Umumnya rumah adat Dayak berbentuk betang panjang yang satu ini berbentuk limas dan membumbung keatas setinggi 20 meter. Didalamnya terdapat semacam bedug sepanjang 9 meter yang digunakan sebagai alat bunyi ritual dan ada 3 tingkat tersusun dalam Balug. Tidak semua orang bisa menjejakkan kaki ke tiap tingkatan. Di bagian paling atas terdapat para-para untuk menyimpan kotak berisi tengkorak kepala manusia.

Saat Nyobeng biasanya semua orang kampung mulai dari Sebujit atas, tengah dan daerah sekitar Bengkayang juga hadir. Semuanya bergembira dan menikmati acara ini. Tidak hanya dari Indonesia, warga negara Malaysia dan Australia pun tidak mau ketinggalan ikut serta. Entah bagaimana mereka bisa mengetahui perhelatan budaya ini.

Bagaimana mungkin hal seindah ini bisa luput dari promosi pariwisata Indonesia? Tulisan ini sengaja saya buat sebagai bentuk promosi wisata daerah. Saya pikir ini adalah salah satu bentuk nasionalisme saya, kecintaan saya dan bakti saya kepada pengembangan pariwisata Indonesia. Dulu mungkin terlalu susah untuk menyebarluaskan ajang seperti ini, tapi untunglah bahwa dunia digital memudahkan semuanya. Ayo! Bergerak dengan mencintai budaya dan wisata negeri ini walaupun itu hanya sejumput bentuk semangat nasionalisme tapi jika semua orang melakukannya maka pariwisata Indonesia akan maju. Sejauh manapun tetap akan didaki, sesulit apapun jika itu indah pasti akan dikunjungi.

Semoga dengan tulisan kecil ini, sarana dan prasarana penunjang menuju Sebujit akan mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Saya cinta Indonesia!

  




Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.