Bermalam di Stasiun Dan Merasakan Sensasi Sleeper Class

Selepas kembali ke guest house kami menitipkan ransel kami di sana. Kemudian kami berencana menghabiskan siang hingga sore makan siang ditempat yang sama dengan hari sebelumnya, Restoran New Bread of Life.

Selepas kembali ke guest house kami menitipkan ransel kami di sana. Kemudian kami berencana menghabiskan siang hingga sore makan siang ditempat yang sama dengan hari sebelumnya, Restoran New Bread of Life. Tidak ada alasan khusus kami kembali ke restoran ini selain karena di sana menyediakan fasilitas internet gratis. Sambil makan siang, saya hendak melakukan pemesanan online untuk akomodasi selama di Kolkata nanti. 
Bermalam di Stasiun Dan Merasakan Sensasi Sleeper Class
Bermalam di Stasiun Dan Merasakan Sensasi Sleeper Class  
 
Saya baru beranjak untuk berangkat menuju stasiun setelah matahari hampir terbenam. Iman mengingatkan bahwa perjalanan menuju stasiun Mughalsarai harus melewati jembatan apung dan sebaiknya dilewati sebelum gelap. Meski di kanan kirinya diberi kawat pembatas, namun jalanan di jembatan apung itu dari papan kayu yang tidak rata, jadi rawan menyebabkan kecelakaan terutama di malam hari.

Kami mendapatkan autorickshaw untuk mengantarkan kami ke Mughalsarai dengan harga 350 rupee. Sama seperti harga ketika kami berangkat dari stasiun tersebut ke Varanasi. Sejujurnya terbilang murah sih dengan jarak yang hampir 20 km. Bandingkan misalnya ketika saya menyewa autoricksaw menuju ke Varanasi Juction Station, kami diminta membayar 150 rupee padahal masih sama-sama di Varanasi.

Perjalanan menuju Mughalsarai station nyatanya melewati jalur yang berbeda dibanding dari stasiun menuju ke Varanasi. Kami tidak melewati jembatan apung seperti ketika kami datang. Mungkin saja karena faktor hari telah malam dan gelap, sehingga jalur melewati jembatan apung itu dihindari. Entahlah.

Ada satu keunikan supir autoricksaw di India. Meski membawa penumpang, mereka biasanya tidak segan untuk mampir atau berhenti sejenak untuk kepentingan pribadi. Waktu menuju Varanasi dulu, supir rickshaw saya sempat-sempatnya mampir ke sebuah toko dan berbicara dengan temannya. Nah dalam perjalanan menuju Mughalsarai ini, supir auto mampir ke toilet umum. Membuat kami menunggu hampir 15 menit di dalam rickshaw. Untungnya saya tidak terburu-buru, jadi saya tidak mempermasalahkannya.

Dalam perjalanan menuju ke Mughalsarai ini juga saya melihat arak-arakan pengantin India. Benar-benar heboh, sampai-sampai membuat jalanan menjadi macet. Maklum para arak-arakan pengantin ini sampai pakai kuda yang dihias segala. Tapi mungkin jika di Indonesia, akan aneh melihat arakan penganten malam hari, namun hal ini di India biasa saja. Umat hindu sangat percaya dengan perhitungan astrologi dan semacamnya, karenanya ritual-ritual penting kehidupan seperti salah satunya pernikahan selalu dicocokkan dengan perhitungan-perhitungan tersebut. Seorang blogger yang berkesempatan menghadiri pernikahan India bercerita bagaimana prosesi inti pernikahan (mengelilingi api sebanyak tujuh kali) yang dihadirinya baru akan dimulai menjelang tengah malam karena faktor perhitungan tersebut.

Hampir satu jam lebih naik autoricksaw dengan berhenti di beberapa tempat saya akhirnya tiba di stasiun Mughalsarai. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, stasiun-stasiun di India seperti tidak pernah ada matinya. Selalu ramai dengan orang-orang yang hendak berpergian dengan kereta api. Begitupun dengan lokat-loketnya yang tidak pernah sepi dengan orang yang antri.

Saya tahu malam itu kami harus menginap di stasiun. Ternyata tidak hanya kami, hampir semua kursi di ruang tunggu di stasiun terisi dengan orang-orang yang menginap di stasiun. Bahkan tidak hanya di kursi, banyak yang dengan santainya menggelar alas tidur kemudian tidur melantai. Tidak tanggung-tanggung, ada yang membawa seluruh keluarganya termasuk anak kecil untuk menginap di stasiun kereta tersebut. Bahkan tidak jarang ada yang sampai tidur di luar bangunan stasiun. Sungguh saya tidak membayangkan bagaimana dinginnya.

Kami awalnya hendak menitipkan bagage, namun pintu ruangan penyimpanannya terkunci. Di depan pintu kami diminta untuk lapor ke bagian informasi. Akhirnya kami lapor ke bagian informasi yang memang buka 24 jam dan dibukakan tempat penyimpanan bagage. Namun selain dikenakan tarif sekitar 50 rupee, kami juga diharuskan menggembok ransel-ransel kami. Sayangnya diantara kami bertiga hanya saya yang membawa gembok. Akhirnya kami batal untuk menitipkan ransel. Setelah dipikir-pikirpun saya sudah terlalu lelah untuk pergi keluar lagi bahkan sekedar untuk mencari makan malam sekalipun. Jadilah saya langsung mencari tempat yang nyaman di ruang tunggu di stasiun kemudian segera tidur.

Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.