Mari Merasakan Serunya Varanasi, India

Mari Merasakan Serunya Varanasi, India. Begitu tiba di stasiun Mughalsarai, saya langsung disambut para supir rickshaw yang berusaha menawarkan jasanya. Mereka seperti juga para supir taksi dan rickshaw di kota-kota lainnya di India, sangat kompetitif dan ngotot.


Begitu tiba di stasiun Mughalsarai, saya langsung disambut para supir rickshaw di Varanasi yang berusaha menawarkan jasanya. Mereka seperti juga para supir taksi dan rickshaw di kota-kota lainnya di India, sangat kompetitif dan ngotot. Mereka sampai rela membuntuti saya dan terus menawarkan harga meski saya sudah menolaknya. Dua orang supir auto ricksaw sampai-sampai terlibat adu mulut karena rebutan untuk menawarkan ricksawnya. Kalau sudah begini saya memilih nyelonong pergi dan tidak mau terlibat.

Jembatan kayu dari drum untuk penyeberangan penduduk lokal di Sungai Gangga
Jembatan kayu dari drum untuk penyeberangan penduduk lokal di Sungai Gangga
Akhirnya setelah tawar menawar alot, saya bersepekat dengan seorang supir ricksaw untuk membawa saya, Alva, Iman dan kini juga Yuma menuju ke Varanasi. Dari Mughalsarai ke Varanasi menempuh jarak sekitar 16 km. Menggunakan autoricksaw adalah pilihan terbaik. Dengan deal hanya sekitar 300 Rupe kami diantar langsung ke penginapan yang saya tuju. Ongkos yang terbilang murah sebenarnya mengingat jarak Mughalsarai dan Varanasi yang cukup jauh. Tapi ya gitu deh, begitu sampai tujuan, si supir ricksaw selalu meminta ongkos tambahan. Jadi harus berani tegas.

Jalan sempit menuju kuil Durga di Varanasi
Jalan sempit menuju kuil Durga di Varanasi
Sepanjang perjalanan kami diselingi beberapa kali berhenti. Mulai dari untuk isi bahan bakar ricksaw, hingga belanja buah-buah yang harganya terbilang murah di Varanasi. Kami juga sempat dibawa supir ricksaw melintasi jembatan apung yang sempat bikin jantung deg-degan. Entah si supir ricksaw mengerjai kami ataukah tidak, tapi ketika pulang dan kembali menuju Mughalsarai, nyatanya kami tidak melewati jembatan apung.

Babi, Kambing serta sapi bebas berkeliaran di Varanasi
Babi, Kambing serta sapi bebas berkeliaran di Varanasi
Banyak persepsi dugaan saya yang meleset ketika akhirnya kami bergerak semakin dekat dengan Varanasi. Seperti misalnya kekhawatiran saya bakal kesulitan menemukan makanan non Vegan. Mengingat Varanasi adalah kota suci agama hindu, saya mengira sebagian besar penduduk Varanasi juga adalah vegetarian sebagaimana kebiasaan masyarakat Hindu. Nyatanya dalam perjalanan menuju varanasi kami melewati pasar yang memperdagangkan daging ayam. Di restoran dan rumah makan di Varanasi pun mudah kita temui menu-menu non vegan. Hanya saja memang saya tidak pernah menemukan menu yang menggunakan daging sapi. Kelak di Kolkata barulah kami akhirnya menemukan pedagang yang menjual daging sapi di India.

Pasar Gerabah di Varanasi
Pasar Gerabah di Varanasi
Saya sudah memesan penginapan melalui situs pemesanan online. Namun menemukan guest house yang kami tuju dengan bermodalkan alamat dari internet ternyata tidak mudah. Di India seringkali bertanya ke orang sekitar justru membuat semakin bingung. Karenanya rickshaw kami sampai bolak-balik berkali-kali sebelum akhirnya tiba ke tempat yang tepat. Terlebih lagi guest host yang kami tuju ternyata berdiri dekat dengan sungai Gangga sehingga harus melewati lorong-lorong berliku yang tidak bisa dilewati oleh ricksaw untuk benar-benar sampai ke sana. Begitu tiba dan turun dari ricksaw, si supir meminta ongkos tambahan. Saya sempat ngotot menolak karena kesepakatan awalnya adalah 300 rupee. Namun mengingat kami sempat bolak-balik dan kebingungan mencari alamat, akhirnya saya tambahkan 50 ruppe walau sebenarnya si supir ricksaw menuntut lebih.

Varanasi yang memanjang sejajar dengan sungai Gangga dipenuhi lorong-lorong sempit yang panjang dan berliku. Kanan dan kiri lorong dibatasi dengan tembok-tembok rumah yang tampaknya berusia sangat tua. Di lorong-lorong berliku itu jika tidak pandai mengingat jalan, sangat memungkinkan akan membuat orang jadi tersesat.
kuil Dewi Durga di Varanasi
kuil Dewi Durga di Varanasi
Kami menginap di PG on Ganges di Varanasi. Harga permalamnya terbilang murah dan yang terpenting ada fasilitas internet gratis. Saya masih harus melakukan pemesanan akomodasi untuk di Kolkata, karenanya saya membutuhkan jaringan internet. Yuma, yang sudah bersama kami semenjak di Mughalsarai awalnya hendak mencari guest house berbahasa Jepang yang ada di tunjukkan dalam buku panduan perjalanan yang dibawanya. Namun ketika reseptionist PG on Ganges berjanji membantunya mencari tiket ke New Delhi secepatnya, akhirnya ia memutuskan ikut menginap di sana. Tampaknya ia hanya ingin segera pulang ke New Delhi kemudian kembali ke negaranya. Tidak heran, mengingat pengalaman buruk yang sempat di alaminya.

Selesai proses administrasi dengan pihak guest house saya mandi dan beristirahat sejenak walaupun perut saya sudah lumayan keroncongan. Setelah bersih dan segar, kami bergegas mencari tempat untuk mengisi perut, sambil berusaha menghafal lorong-lorong sekitar guest house untuk menuju jalan utama. Begitu tiba di jalan utama tidak sulit menemukan rumah makan dan restoran. Tidak hanya menyediakan makanan India, banyak juga yang menyediakan western food. Saya tidak sekalipun memesan masakan barat selama di India, jadi tidak tahu juga apakah mereka memberikan sentuhan India yang kaya bumbu dan rempah itu dalam masakan barat mereka.
Chicken Curry ala Restaurant Bread of Life
Chicken Curry ala Restaurant Bread of Life
Paratha ala Restaurant Bread of Life
Paratha ala Restaurant Bread of Life
Akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada sebuah restoran bernama New Bread of Life. Sebuah rumah makan bergaya barat dan dilengkapi fasilitas wifi. Nampaknya banyak para turis-turis asing yang juga memilih makan di tempat tersebut. Mungkin sebabnya selain karena fasilitas internet juga menu makanan barat yang ditawarkan. Salah seorang turis asing  yang berseberangan meja dengan kami tampak hanya memesan sandwich dan omelet. Mungkin banyak lidah-lidah asing yang tidak cocok dengan masakan asli India. Saya? Karena saya ingin merasakan keunikan India sedalam-dalamnya, saya tidak takut dengan tantangan yang akan disajikan oleh makanan India pada saya.
Fish Curry ala Restaurant Bread of Life
Fish Curry ala Restaurant Bread of Life
Vegetable Curry ala Restaurant Bread of Life
Vegetable Curry ala Restaurant Bread of Life
Pelayan rumah makan tersebut sangat ramah. Ia meminta dipanggil dengan sebutan “Uncle.” Dengan senang hati ia merekomendasikan menu ketika mendengar saya ingin makan-makanan khas India. Tentu saya memilih yang belum pernah saya coba sebelumnya. Dan tidak ketinggalan saya selalu menyertakan satu menu berbahan dasar nasi. Namanya juga orang Indonesia, kalau belum makan nasi, ya belum makan namanya.

Jembatan kayu dari drum untuk penyeberangan penduduk lokal di Sungai Gangga
Jembatan kayu dari drum untuk penyeberangan penduduk lokal di Sungai Gangga
Setelah makanan tersedia, kami berempat makan besar dengan lahapnya. Separuh menu non veg, dan sisanya menu vegetarian. Lembaran demi lembaran paratha (roti khas India) menghilang dari piring kami masing-masing. Tidak lupa saya memesan kopi sebagai minuman wajib yang tidak bisa saya tinggalkan. Yuma juga mencoba Lassi untuk pertama kalinya. Tampaknya ia menyukai rasa perpaduan asam dan manisnya. Sempat terbersit ide iseng saya ingin mengerjai dia dengan memesankan butter milk minuman khas India yang berasa aneh karena penuh dengan rempah. Namun saya tidak tega. Biarlah sisa waktunya di India ini di isi dengan yang manis-manis saja. Bukan seperti rasa yang tidak menyenangkan seperti ketika meneguk butter milk ataupun Jal Jerra.
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.