Menapak Jejak Budaya Dayak Perbatasan Yang Hampir Hilang

Setiap darah mengalir dari berbagai macam suku bangsa mengarah pada satu. Indonesia, negara besar yang kaya dan penuh budaya. Tulisan ini catatan perjalanan saya mencari #JejakMahakarya yang hampir hilang. Nyobeng Jangan sampai hilang tertelan jaman.

Indonesia Tanah Air Beta, Pusaka Abadi Nan Jaya
Indonesia Sejak Dulu Kala Sampai Akhir Menutup Mata

Potongan lagu yang sederhana namun penuh arti. Setiap darah mengalir dari berbagai macam suku bangsa mengarah pada satu. Indonesia, negara besar yang kaya dan penuh budaya. Tulisan ini catatan perjalanan saya mencari #JejakMahakarya yang hampir hilang. Nyobeng jangan sampai hilang tertelan jaman.

Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Meresapi Budaya Perbatasan
Totalnya 209 kilometer dari Pontianak menuju Sebujit. Saya lakukan perjalanan ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia punya budaya luar biasa, perjalanan offroad yang menantang membuat saya menikmati. jalanan berkerikil, batu dan tanah merah di 18 kilometer sebelum sampai di lokasi benar-benar dinikmati. Tubuh tergoncang hebat kekiri dan kekanan karena melewati jalan berbatu kerikil. Beberapa kali roda sepeda motor harus tergelincir kekiri dan kekanan. Konsentrasi penuh dan fokus terhadap jalanan adalah hal utama bagi keselamatan. Di ujung jalan terdapat jembatan gantung kayu, motor yang saya naiki hampir terjun bebas ke jurang setinggi 20 meter karena keseimbangan terganggu akibat jembatan berayun kekiri dan kekanan. Jantung saya berdegup kencang hampir mau lepas.

Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Perjuangan belum berakhir, perjalanan berikutnya harus melewati tanah kuning yang memiliki tanjakan dan turunan dengan kemiringan mencapai 60 derajat. Jalan yang berbukit membuat kita harus ekstra berhati hati, bisa saja di kiri dan kanan terdapat jurang sedalam puluhan meter, kalau terpeleset habislah sudah. Saya tidak membayangkan jika saat hujan dan harus melewati jalan ini, bahaya terperosok kedalam jurang atau longsor dari tepian bukit bisa jadi ancaman.

Mendaki bukit, melewati lembah dan menyeberangi sungai kecil dengan jembatan kayu kecil membuat tulang leher, punggung, pinggang, dan tulang ekor harus bekerja keras membiasakan diri terhadap hentakan dan guncangan tiba-tiba. Berangkat pukul 1 siang dari Bengkayang dan tiba sebelum magrib. Saat kaki menjejak rumah tumpangan, hujan turun dengan derasnya hingga hampir tengah malam. Tidak henti-hetinya syukur dipanjatkan. Total perjalanan dari Pontianak hingga sebujit hampir 9 jam.
Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Saya datang ke sini khusus untuk menyaksikan tradisi unik gawai ala suku dayak Bidayuh di Sebujit yang tekenal dengan sebutan Nyobeng. Gawai bagi suku Dayak adalah budaya turun temurun dari leluhur yang merupakan perayaan syukur atas hasil panen yang berlimpah. Ritualnya sendiri bermacam-macam tergantung dari sub suku dayaknya. Beda padang beda belalang walaupun masih dalam satu kawasan.

Nyobeng sebagai Tradisi
Nyobeng yang berpusat di dusun Hlu Buei, desa Sebujit, kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Nyobeng sendiri berasal dari kata Nibakng yang merupakan ritual adat ucapan syukur atas panen berlimpah dan juga ritual memandikan kepala hasil “ngayau” dulu. Ngayau merupakan tradisi perang dan mengambil kepala musuh untuk di bawa pulang ke desa sebagai bukti kemenangan.  Sesampai di kampung biasanya akan diadakan ritual penyambutan, setelah itu kepala akan disimpan di atas bambu yang ada disebelah balug, kemudian para pejuang akan memanjat bambu dengan posisi terbalik untuk menunjukkan kekuatan mereka. Setelah itu, kepala akan di simpan di kotak kayu. Kotak kayu akan disimpan diatas bumbung balug. Kepala ini di yakini akan menjadi penjaga  kampung serta harus dimandikan dan di beri sesaji sebagai bentuk penghormatan setiap tahunnya.

Smiling Chief, Pak Amin
Smiling Chief, Pak Amin
Nyobeng berlangsung selama tiga hari dan selalu dilaksanakan tanggal 15-17 Juni setiap tahunnya. Selama 3 hari ini akan ada berbagai macam ritual yang diadakan. Lokasi pelaksanaan ritual adat ini dilakukan di rumah  adat bernama Balug. Biasanya semua orang kampung dari mulai dari Sebujit atas, tengah dan daerah sekitar Bengkayang juga hadir. Semuanya bergembira dan menikmati acara ini. Tidak hanya dari Indonesia, Penduduk kampung Sebujit juga mengundang tamu serumpun dari suku dayak Bidayuh Bau, Pandang Pan, Sarawak Malaysia. Kabarnya untuk mencapai desa ini, mereka harus berjalan kaki sekitar 5-6 jam.

Menyambut tamu dari negeri tetangga
Menyambut tamu dari negeri tetangga
Balug, Jantung Budaya Sebujit
Rumah adat ini bentuknya berbeda dari suku dayak yang kebanyakan berbentuk betang panjang. Balug berbentuk seperti kaleng ceper beratap limas dengan 3 tingkatan dan 1 buah bumbungan sebagai tempat menyimpan peti berisi tengkorak hasil ngayau. Dibuat tahun 1997 dan dibagun sama persis dengan balug yang ada di Sebujit atas yang di buat tahun 1950-an. 21 Tiang penyangga dan lantainya terbuat dari kayu belian, dengan dinding terbuat dari bambu dan atapnya terbuat dari daun sagu. Tingginya sekitar 20 meter. Untuk naik keatas menggunakan tangga terbuat dari sebatang kayu belian yang di tatah menyerupai tangga dengan parang. Saat masuk beranda, kita akan di sambut sepasang patung perempuan dan laki-laki nenek moyang Sebujit menggunakan baju adat.

Balug, sebujit, nyobeng
Balug
Terdapat 3 tingkat didalam rumah yang mirip limas ini. Tingkat pertama berisi tulang tulang kepala binatang hasil buruan, mulai dari babi hutan, rusa dan banyak lagi yang lain. terdapat tungku untuk memasak, beberapa tempayan dari hasil membayar adat dan digunakan menyimpan air dan jimat untuk ritual. Alat musik seperti tawak dan gong juga diletakkan disini serta beberapa alat masak dan alat dapur. Terdapat tempat mencuci piring disebelah selatan dan berhadapan lurus dengan pintu masuk di sebelah utara. Tingkat pertama ada 2 jendela mendongak ke atas dan di sangga dengan bambu dan menghadap timur dan barat. Jendela ini mewakili 2 klan prajurit yaitu Demos (timur) dan Danum (barat). Fungsi jendela ini sebagai penanda jika salah satu klan berhasil mendapatkan kepala pada saat ngayau maka jendela akan terbuka dan dari sana akan ditembakkan senapan lantak.

Lantai 2 tidak besar, hanya sekitar 5x5 meter, selain berfungsi hanya sebagai penghubung lantai 1 dan 3 juga digunakan untuk menyimpan sebuah bedug atau Sibakng sepanjang kurang lebih 9 meter yang terbuat dari kayu Bira yang dilubangi bagian tengahnya dan untuk ditambahkan kulit rusa. Sibakng ini tergantung dari lantai 2 dan tembus hingga hampir setengah tinggi Balug, diameternya sepelukan orang dewasa. Makin ke bawah semakin mengecil diameternya. Fungsi seperti layaknya bedug sebagai penanda atau digunakan sebagai alat musik pengiring ritual adat, dapat dimainkan bersama alat musik lain atau dimainkan secara solo.

Lantai 3 merupakan tempat sakral untuk melakukan ritual memandikan tengkorak, tidak bisa sembarangan orang berada disana, hanya 7 orang yang terdiri dari kepala adat dan 6 orang tetua yang boleh naik kesana untuk melakukan ritual. Biasanya prosesi di lantai ini sangat susah untuk di lihat, hanya orang-orang yang mempunyai ijin dari kepala adat saja yang dapat melihat, itupun berjinjit dari lantai 2. Disini juga terdapat 2 jendela yang menghadap utara dan selatan.

Lantai paling atas atau bumbungan adalah tempat kecil untuk menyimpan tengkorak kepala yang dikeramatkan dan dianggap sebagai Kamakng atau penjaga kampung. tengkorak tersimpan didalam peti kayu berukuran 1x2m. Tidak sembarang orang bisa memegang dan memindahkannya dari lokasi itu. Tengkorak kepala ini hanya dikeluarkan 1 tahun sekali pada saat nyobeng dan akan dimandikan menggunakan darah ayam dan babi.

Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Panjat Pinang Ala Dayak Bidayuh
Balug hanya dibuka satu tahun sekali pada saat nyobeng dan perlu ada ritual khusus untuk itu. Rumah Balug dulu digunakan untuk melakukan musyawarah dan mufakat serta merupakan pusat dari segala informasi. Penghubung antara warga dengan roh leluhur melalui perantaraan kepala adat. Saran saya foto lah rumah adat ini dari jarak 200-300 meter, pasti akan terlihat eksotis dan indah.

Rumah adat Balug memang berbeda dengan rumah adat dayak kebanyakan dengan bentuk panjang dan besar dengan nama rumah Betang. Perbedaan ini dikarenakan kontur tanah kampung Sebujit yang didominasi perbukitan dan lembah sehingga tidak memungkinkan membangun rumah betang. Balug biasanya dibangun di dataran paling tinggi di kampung supaya makin medekatkan diri kepada Tipaiyakng (Tuhan) dan memudahkan untuk memantau keadaan kampung. Selain itu juga balug digunakan sebagai pusat kegiatan warga kampung dan pusat informasi. Tahun 2010, Replika rumah Balug  dibangun di Taman Mini Indonesia Indah.

Ritual Pembuka Jalan
Tubuh lelah saya mendadak tersentak, sayup-sayup terdengar Paduapm atau lantunan mantra dan sibakng di pukul berkali-kali. Tidak ada waktu lagi untuk tidur,  langkah kaki saya mantap menapak menuju Balug yang hanya berjarak 300 meter dari rumah tumpangan. Menembus udara dingin dan menaiki tangga  seukuran satu pijakan setinggi 16 meter. Mendongak keatas dan sudah disambut sepasang patung kayu diberanda. Melongok kedalam terlihat Pak Amin sang kepala adat berdiri tegap dengan penuh kharisma. Senyum ramahnya membuat saya tenang. Saya menikmati paduapm sembari terpekur, beberapa alunan nada membuat saya merinding. Awalnya saya sudah menggenggam kamera untuk mengambil gambar, namun urung karena takut menganggu konsentrasi. Paduapm sebagai pembuka adat, sang kepala adat mengundang semua roh nenek moyang atau Tipaiyakng  untuk hadir dan merestui Nyobeng.

Matahari mulai menunjukkan pesonanya, hujan tadi malam membuat warnanya sedikit pudar. Persiapan penyambutan tamu akan segera dimulai, warga kampung mulai dari anak-anak sampai dewasa tanpa memperdulikan gender mulai berdatangan mempersiapkan diri lengkap dengan pakaian adatnya. Penanda acara dimulai adalah gema sibankng sebanyak 7 kali, memanggil seluruh warga untuk naik ke atas baluq, anak-anak, remaja, orang tua, pria dan wanita semuanya menggunakan pakaian adat lengkap. Pakaian ini sudah mengalami perubahan dari aslinya, kini wanita menggunakan baju seperti kebaya sementara dulunya tidak menggunakan atasan. Bagian bawah menggunakan kain dominasi 3 warna, kuning, biru dan putih serta topi tinggi menjulang seperti topi timur tengah. Aksesoris kain semacam selendang tersangkut di pundak ditambah kalung manik-manik. Para pria menggunakan selembar kain merah panjang yang dililitkan membentuk cawat, dahulunya menggunakan kulit kayu. Sejenis kain bermotif juga dililitkan dikepala, diikat mirip dengan ikat kepala dari Nias. Tidak lupa aksesoris seperti ikat lengan, kalung dari gigi dan tulang hewan, ikat pinggang dari perak serta Mandau (sejenis pedang panjang khas suku dayak) terselip di pinggang.

Kepala adat akan memimpin upacara pembukaan dengan memukul sibakng dikuti dengan permainan tetabuhan lain seperti Aguakng seperti Tawak yang tergantung di dinding, Gutakng yang berukuran lebih kecil,  serta Sanakng yang juga hampir mirip dengan Tawak namun ukurannya lebik besar. Disebelah kiri Sibakng biasanya di gantungkan juga Kabukng yang mirip dengan gendang. Saat semuanya dimainkan maka yang lain akan menari berputar mengitari perapian di bagian tengah balug atau disebut Simaniamas. Hentakan kaki dan gerakan jari tegas berulang-ulang dilakukan terus-menerus selama musik masih dimainkan. Tarian simaniamas sendiri sebenarnya tarian penyambut para pejuang setelah kembali mengayau serta sebagai tarian persahabatan.

Teriakan keras kepala suku diikuti seluruh prajurit membuat saya tersentak. Suara sibakng, mantra dan tariu kembali terdengar mistis. Kepala adat mengurapi minyak jimat kesemua orang kemudian  darah ayam diolesi ke dahi yang berguna sebagai teropong, ke pipi agar teriakan menjadi lantang dan jalan menjadi baik, ke dada sebagai bentuk permohonan ampun katas segala kesalahan dan menjadi pintar serta punggung sebagai penangkis dari berbagai ilmu santet atau pulung. Beras kuning dibagikan untuk upacara penyambutan tamu nanti. Saat acara ini berlangsung akan ada  beberapa kali tembakan senapan laras panjang tradisional atau lantak. Ritual di balug berakhir saat kepala adat turun.

Acara penyambutan dilakukan di dua tempat, pintu timur dan barat desa. Ritualnya dimulai dari seluruh penduduk desa akan menghampiri sembari berteriak, “booooooooo huuuuuuu” dan juga membunyikan berbagai macam tetabuhan. Ketegangan berlangsung saat saling bertatap muka berhadapan dan seluruh pria mengangkat Mandau, sumpit serta menembakkan senapan lantak. Nafas saya tertahan saat ketua adat merapal mantra dan melemparkan seekor anak anjing kepada tamu yang datang.  Mata saya merekam jelas saat anak anjing ditebas oleh ketua rombongan yang datang begitu pula dengan seekor anak ayam juga diperlakukan sama. Setelah ritual ini selesai baru saya dapat bernafas lega. Makna ritual ini sebagai penolak bala bagi kampung.

Tebasan tadi belum menyelesaikan ritual penyambutan, masih ada pelemparan telur  oleh perempuan yang dituakan ke dada perwakilan tamu yang datang. Saya kaget sekali saat tiba-tiba muncul perempuan berpakaian adat tiba-tiba menyeruak dan maju kedepan dan melempar sekuat tenaga. Semuanya berlangsung sangat cepat, telur yang pecah bearti tamu yang datang punya niat baik dan hati yang ikhla. Lalu, kembali sebutir telur digenggam ketua adat sembari komat-kamit telur diremas hingga pecah untuk dilihat alur tetesannya. Jika mengalir baik maka kepala adat akan menyalami seluruh tamu yang datang diikuti oleh seluruh warga sembari mengucapkan. “slamat inu gawai”. Para wanita pun langsung menyajikan tuak sebagai minuman selamat datang keseluruh tamu. Selain itu akan ada pelemparan beras kuning dan putih serta tembakan senapan lantak ke udara.

Tamu akan diajak menuju balug dan di sambut dengan tari-tarian oleh anak-anak desa Sebujit. Melewati gerbang janur, semua yang ingin masuk harus membasuh kaki di atas nampan berisi potongan kedebong pisang dan buah kundur sebagai pembersih diri atau Pepasan. Seekor babi besar yang terikat di depan altar persembahan lalu ditombak oleh kepala adat, kemudian akan tusuk dengan Mandau oleh ketua adat tamu undangan. Darah babi yang mengucur deras ditampung dalam mangkuk dan dioleskan ke dahi, pipi, dada dan punggung seluruh peserta Nyobeng dilanjutkan dengan menari simaniamas bersama-sama mengelilingi balug sebanyak 3x. Sembari menari maka musik akan terus dimainkan. Para wanita Sebujit akan mulai ikut menari sembari membagikan tuak terus menerus. Tamu lalu diajak menikmati berbagai jenis makanan hasil bumi seluruh penduduk Sebujit sambil beristirahat di balai-balai.

Sambutan dan petuah dari tuan rumah dan perwakilan tamu disampaikan sembari makan dan minum. Selesai sepatah dua patah kata disampaikan dan santap siang selesai, terlihat ada kegiatan unik hendak dilakukan yaitu panjat bambu terbalik. Sungguh membuat penasaran. Bambu setinggi 10 meter mulai didirikan di sebelah balug. Untuk mendapatkan gambar yang bagus, saya bergegas naik ke balug. Peserta panjat bambu terbalik hanya diikuti 7 orang saja, 7 merupakan angka keramat bagi orang Bidayuh. Dari atas saya melihat ketua adat merapal mantra dan peserta diperciki air dengan daun Anjuang. Setelah itu akan dilakukan tarian simaniamas berputar mengililingi bambu yang juga sudah dimantrai ketua adat.

Senyuman sang Pendekar
Senyuman sang Pendekar
Masing-masing prajurit akan mencoba menaikinya hingga berhasil mengambil hadiah yang berada di puncak. Caranya dengan kepala dibawah dan berjalan mundur menaiki bambu hingga sampai puncak. Bukan hal yang mudah dilakukan karena darah terkumpul di kepala dan membuat pusing. Dahulu dibagian atas tersimpan kepala hasil mengayau tapi sekarang sudah diganti dengan tuak yang terbuat dari air pohon enau yang di campur kulit pohon pakak atau air tapai ketan hitam. Peserta akan menunjukkan kekuatan hingga sampai kepuncak, dulu memanjat bambu terbalik merupakan pertunjukan kehebatan prajurit serta luapan kegembiraan setelah menang berperang. Jika peserta berhasil sampai dipuncak, tuak yang ada akan diminum langsung, sisanya dibagikan kebawah. Hingga disini, acara pembukaan Nyobeng dan penerimaan tamu berakhir.

Hari mulai sore, saya melihat beberapa orang membawa bambu kira-kira sepanjang 4 meter berdiameter seukuran jempol orang dewasa dan masih berdaun. Saya beranikan diri untuk melihat dari dekat, ternyata bambu ini akan di potong sebagai bentuk persembahan kepada leluhur. 7 batang bambu di potong oleh 7 orang dengan aturan; jika bambu di tebas dengan sekali ayunan dan terpotong rapi maka akan di simpan di balug dan diikatkan didekat jendela yang menghadap timur, jika tidak terpotong bearti bambu tersebut akan tetap tersimpan dibawah balug. Setelah itu tanpa sepatah kata, 7 orang ini pergi meninggalkan balug setelah mebikat bambu. Sayapun memilih beristirahat di homestay.

Ritual Mencuci Tengkorak Kepala
Waktu menunjukkan pukul 19.00, Sibakng sudah ditabuh 7x. Itu artinya seluruh warga dan tamu diajak berkumpul di Balug. Saya bergegas melangkah dan naik ke atas cepat-cepat agar tidak tertinggal setiap momen. Terlihat Pak Amin sang “smiling chief” sudah sibuk membaca mantra sembari memegang seekor ayam yang kemudian disentuhkan kesetiap sudut balug, alat musik, alat dapur, persembahan, para-para, tempayan, tidak ada yang luput. Pak Amin yang sudah tua tetap lincah, semua dilakukannya dengan cepat, seperti terbang. Entah kekuatan apa yang membantunya melakukan ini semua. Saya baru saja melihat dia di atas tapi begitu saya melongokkan kepala dari jendela beliau sudah melesat dibawah, melanjutkan menyentuhkan ayam ke balai-balai, altar tempat ritual berlangsung dan sesajen lalu kembali ke balug menuju lantai tiga dimana sudah ada 6 orang lain yang menunggu, mereka menari dan mempersiapkan ritual pemotongan ayam sebagai ritual pembuka memandikan tengkorak kepala.

Sang Kepala Adat Negara Tetangga
Sang Kepala Adat Negara Tetangga
Suasana mistis mulai terasa saat kotak kayu berisi tengkorak kepala di ambil dari tempatnya, disimpan di lantai, sementara ke 7 orang mulai melakukan pembicaraan, saya sendiri tidak bisa memahami selain itu saya hanya bisa mengintip dari lantai 2. Sibakng terus dipukul sebanyak 7x dan kain merah dibuka diatas kotak kayu, terdapat beberapa benda pusaka dan jimat termasuk tengkorak. Setelah mantra di bacakan, diolesi minyak jimat, ayam di sembur dan kemudian di potong diatas kain merah tepat di leher, darah menyembur deras. Setelah leher terpotong, ayam di lempar ke lantai 1. Darah yang menempel di mandau kemudian dioleskan ke semua pusaka, jimat dan tengkorak. Setelah acara ini selesai Pak Amin lalu menari di lantai 2 di sekitar Sibakng. Kemudian tampah berisi sesajen sirih, gambir, kapur, pinang, tuak, daun jeruk dan bawang kucai sebagai pewanginya diletakkan di dapur.

Setelah persembahan pertama, Pak Amin berlari kebawah diikuti 6 orang lainnya. Persembahan kedua berupa seekor anjing putih akan di sembelih namun dilaksanakn diluar area balug. Saya bergidig ngeri saat kepala dipegang dan dibawa menuju meja altar bagian bawah. Sebelum diletakkan di meja altar, kepala anjing dipegang sembari menari simaniamas didepan altar. Ditempat ini juga sudah ada beberapa tetua adat lain termasuk seorang nenek dari Sebujit atas yang usianya lebih dari 100 tahun.

Tetabuhan terus dibunyikan, sang nenek memimpin tetua lain menari memutari persembahan untuk ritual selanjutnya yaitu Mandi. Semua bahan sesajen dimasukkan kedalam tempayan yang sudah berisi air oleh ketua adat, lalu mengambil kelapa muda dan kemudian dibelah menggunakan Mandau miliknya. Mata saya menangkap bentuk Mandau yang tidak biasa, Mandau ini tanpa gagang dan bagian ujung terbelah dua seperti lidah ular. Selesai memasukkan air kelapa dan isinya kedalam tempayan lalu Mandau dicelupkan.

Air dalam tempayan inilah yang digunakan untuk mandi. Warga yang ingin mendapatkan kesembuhan langsung berbaris, air diambil dari tempayan menggunakan bambu dan dialirkan melalui pelepah bunga kelapa memyirami mereka yang berbaris, kepala dan wajah diusap oleh ketua adat dan badan dipukul-pukul dengan daun anjuang yang sudah dicelupkan kedalam tempayan.

Ritual terakhir adalah memandikan tengkorak kepala menggunakan darah babi. Korban persembahan ini sudah tersimpan didekat perapian di balug. Babi yang lumayan besar ini terikat oleh kayu di kiri dan kanan tubuhnya. Sebelum di mulai, Sibankng kembali di pukul 7 kali. Ketua adat yang memegang tombak langsung menancapkannya ke bagian leher sembari terus merapal mantra, tetua lainnya juga mengacungkan Mandau lalu menebaskan ke leher babi. Darah yang mengalir langsung diambil dengan tangan dan ditampung kedalam sebuah mangkuk hingga dirasa cukup lalu ketujuh orang ini langsung menuju ke lantai 3 balug.

Entah kenapa setiap Peti kayu ini diturunkan dari bumbungan nuansa mistis langsung hadir. Tengkorak kepala dikeluarkan perlahan, di simpan di dalam piring. Nuansa mistis semakin terasa saat mantra dirapalkan. Darah babi tadi disapukan berulang kali ke tengkorak kepala sembari terus merapalkan mantra, kotak kayu untuk menyimpan tengkorak kepala juga dibersihkan. Hanya terdengar mantra dan semuanya hening hingga proses ini selesai. Selanjutnya tengkorak kepala disimpan kembali kedalam kotak kayu dan dikemudian dikembalikan ketempatnya untuk dimandikan kembali tahun depan.

Setelah semua berakhir, ketua dan tetua adat turun dari rumah balug. prosesi akhir adalah menyajikan sesajen terakhir untuk leluhur berupa hati babi, anjing dan ayam yang telah dikorbankan tadi dan diantarkan kembali menuju balug. Warga yang tadinya menyaksikan seluruh acara kembali melakukan tarian simaniamas diiringi berbagai tetabuhan dan sibakng. Ritual Nyobengpun berakhir dengan menikmati makanan yang telah disediakan bersama-sama.

Matahari bersinar terang, sisa kelelahan semalam masih terasa. Saya bangun lebih siang dari kemarin. Lalu mandi dan sarapan. Saya mempersiapkan diri untuk melihat ritual berikutnya karena nyobeng belum berakhir. Masih ada ritual yaitu  Balik Layar. Ini merupakan ritual penutup dimana warga mengucapkan terimakasih kepada roh leluhur dan Tipaiyakng dan mengantar mereka kembali menuju tempat tinggal mereka yang dipercaya berada digunung dan bukit sekitar Sebujit. Hari terakhir ini juga, ketua adat beserta seluruh warga akan mengantar tamu yang mereka undang untuk pulang. Diiringi dengan nyanyian, tarian dan tetabuhan seluruh peralatan Nyobeng akan dirapikan, tikar dilipat, altar dibersihkan dan Balug akan ditutup.

Ritual ini dilakukan supaya semua yang di undang merasa senang dan roh leluhur akan terus melindungi dan memberikan rejeki selama satu tahun. Mereka percaya ritual ini harus terus dilaksanakan setiap tahun agar hubungan mereka dengan roh leluhur dan Tipaiyakng terus berjalan harmonis dan baik.

Jejak Budaya Yang Hampir Hilang
Tulisan ini khusus saya dedikasikan untuk #JejakMahakarya Indonesia. Dimana Budaya masih menjadi hal penting dan di pegang teguh. Tradisi ini minim sekali informasi sehingga hampir tidak banyak yang tahu. Bahkan bagi orang di Kalimantan Barat sekalipun. Saya wajib memperkenalkan ini sebagian bagian budaya Indonesia.



Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.