“Pehawak” atau menikah dalam bahasa Indonesia. Pagi ini mempelai pria sudah datang kerumah. Hantaran yang diberikan juga bermacam-macam, mulai dari kain sampai bahan pangan, namun yang paling menarik perhatian adalah sepasang “tawak” atau gong dengan diameter 2 meter. Harganya sudah pasti mahal, ditambah dengan tempat sirih pinang dari tembaga dan perhiasan dari manik-manik. Seserahan ini diberikan pada wanita sebagai pengikat. Artinya, jika nanti jika terjadi perpisahan yang dikehendaki sang pria maka seluruh seserahan itu menjadi hak milik wanita seutuhnya namun sebaliknya, jika sang perempuan yang meminta perceraian maka wanita harus mengembalikan semua seserahan tadi kepada pria dua kali lipat.
Kapuas Hulu atau Putussibau bukan daerah yang akrab bagi
beberapa orang. Tapi daerah Hulu ini punya banyak sekali potensi Pariwisata
yang luar biasa. Jika di tata kelola dengan baik pasti akan mendatangkan banyak
sekali wisatawan. Beberapa nama lokasi sudah cukup populer, seperti Taman
Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Danau Sentarum, Rumah Betang Sungai
Utik dan masih banyak lagi atau mungkin makanan yang membuat kangen seperti
temet, kerupuk belidak atau salai lais yang sedap.
 |
Sampan bermesin di air surut Sungai Mendalam |
Tapi Kapuas Hulu tidak hanya itu. Saya mengajak anda
untuk masuk kedalam sungai Sibau menuju ke hulu. Ada sebuah kampung yang
menarik untuk di telusuri, namanya Desa Padua dipinggir aliran sungai Mendalam.
Di sana berdiam suku Kayaan Mendalam yang mendiami beberapa dusun. Saya
berkesempatan mengunjungi kampung ini untuk menghadiri pernikahan adat yang
sudah langka. Perjalanan cukup pangjang untuk bisa menuju kesana. Bisa
menggunakan jalan darat menggunakan bus atau udara menggunakan pesawat.
 |
Sungai Kapuas di lihat dari Udara |
Saya sudah siap di bandara pukul 10.00 pagi untuk siap
untuk menuju ke Putussibau menaiki pesawat berbaling baling. Dengan durasi
penerbangan kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Saat akan mendarat saya
melihat sungai kapuas dan anak sungai lainnya mengular, sambung menyambung
tanpa tahu mana hulu dan hilirnya. Air yang berwarna coklat di himpit hutan
tropis kalimantan yang hijau, sungguh lukisan alam yang sempurna.
 |
Tiba di Bandara Putussibau |
Sesampainya di bandara, saya sudah di jemput untuk
melanjutkan perjalanan. Motor dengan kemampuan besar sudah disiapkan menembus
jalanan melewati sungai Sibau, saya jadi ingat dulu, sewaktu kecil, pernah juga
menjejakkan kaki di Padua. Tidak ada jalan darat, harus menggunakan sungai
Sibau sebagai jalur transportasi, melawan arus dengan mesin 10 PK dengan
menempuh waktu sekitar 2 jam. Melewati beragam kelok dengan arus yang kadang
deras kadang datar. Perjalanan ini juga sangat menantang saat melewati bebatuan
atau kayu yang terpendam di dasar sungai. Jika tidak hati-hati bisa saja
baling-baling mesin tersangkut.
 |
Menyusuri sungai Mendalam |
Namun tidak semua perjalanan ini bisa dilewati
menggunakan jalan darat. Kendaraan roda dua yang saya pakai harus menyeberangi
dua sungai menggunakan penyeberangan dengan kapal bermesin yang di desain
khusus membawa kendaraan roda dua dan empat serta melewati beberapa kampung. Saya
masih bisa melihat banyak sekali padi yang di jemur. Beberapa sawah juga terlihat
padinya sudah menguning. Beberapa kali saya berpapasan ibu-ibu yang membawa
tangkin (sejenis tas anyaman) berisi padi, adapula bapak-bapak yang membawa ikan selesai menjala.
 |
Menyusuri anak sungai Mendalam |
Setelah sekitar 40 menit sampailah saya di kampung
Padua, Mendalam. Kampung ini tempat ibu saya dilahirkan. Rumah kayu ini jadi
saksi kelahiran ibu sekaligus juga menjadi tempat pernikahan esok. Hari
ini, saya memutuskan tidak untuk beristirahat. Saya ingin berkunjung ke kampung
sebelah untuk melihat rumah betang Uma’ Suling. Rumah adat ini terbilang baru,
didirikan tahun 2009 dan tidak difungsikan untuk tinggal hanya untuk perayaan
atau pertemuan saja. Jarak Padua ke Rumah Suling hanya 15 menit menggunakan kendaraan
roda dua.
 |
Prasasti peresmian Rumah Betang |
Saya bergegas untuk melihat ke kampung sebelah betang
ini. Tidak terlalu panjang dan tidak juga besar, memang digunakan hanya untuk
ruang pertemuan. Tapi lumayanlah, masih ada ornamen Kayaan yang bisa dinikmati
didalamnya. Beberapa patung dan ukiran yang sangat khas. Menggambarkan bentuk
“hudo’ok” sang makhluk penjaga rumah ini. Tidak jauh dari Betang ada rumah
kepala desa. Berkunjung ke sana untuk mendapatkan informasi adalah pilihan
terbaik untuk mencari tahu.
 |
Hudo', Patung penjaga betang |
Namanya Jaraan Markus, kepala desa dua periode yang
ramah menjelaskan. “Kampung ini penduduknya hanya 200 kepala keluarga, sudah
banyak yang sekolah atau pindah bekerja di kota”. Ia menyarankan untuk datang
lagi pada saat gawai karena akan lebih ramai. “Banyak orang pulang kampong, banyak
padi baru. Setiap rumah banyak makan dan minum, Kita sebut gawai itu Dange”.
Demikian Pak Kades menjelaskan. Saya pun sungguh beruntung di ajak beliau untuk
ikut “mukat” dan memancing di anak sungai Mendalam sore ini.
 |
Sungai Mendalam sedang surut |
Air tidak terlalu dalam karena memang musim air surut.
Air sungai yang bening membuat saya bisa melihat bebatuan di dasar sungai.
Perlahan sampan di kayuh masuk ke anak sungai setelah menyeberang sungai
berarus sedang. Air mulai terlihat agak gelap disinilah kami mulai mencoba
memasang pukat sekalian melempar umpan. Saya sendiri lebih sibuk melihat
hamparan tanaman yang hijau di pinggir sungai sembari melihat beberapa monyet
yang melompat kesana kemari. Sayangnya saat ini sore hari sehingga tidak ada suara
burung.
 |
Sungai Mendalam sedang surut |
Sore makin menjelang. Sayapun di ajak pulang, hanya
dua ekor ikan yang berhasil di pancing, ukurannyapun tak seberapa. Pukat akan
di angkat esok pagi. Kamipun mengayuh perlahan sampan kecil yang muat 3 orang
saja ini. Sesampai di rumah kepala desa. Saya mengucapkan terima kasih karena
sudah di ajak berjalan jalan. Sayapun kembali kerumah untuk bersiap dengan
aktifitas esok pagi.
 |
Alam yang masih asri |
“Pehawak” atau menikah dalam bahasa Indonesia. Pagi
ini mempelai pria sudah datang kerumah. Hantaran yang diberikan juga
bermacam-macam, mulai dari kain sampai bahan pangan, namun yang paling menarik
perhatian adalah sepasang “tawak” atau gong dengan diameter satu meter. Harganya
sudah pasti mahal, ditambah dengan tempat sirih pinang dari tembaga dan
perhiasan dari manik-manik. Seserahan ini diberikan pada wanita sebagai
pengikat. Artinya, jika nanti jika terjadi perpisahan yang dikehendaki sang
pria maka seluruh seserahan itu menjadi hak milik wanita seutuhnya namun
sebaliknya, jika sang perempuan yang meminta perceraian maka wanita harus
mengembalikan semua seserahan tadi kepada pria dua kali lipat.
 |
Tawak untuk mahar pernikahan |
Acara ini di mulai dengan pembukaan dari orang yang
dituakan di kampung, “Uku” atau nenek/kakek dalam bahasa Indonesia yang
dipercaya memimpin adat ini. Dia adalah Uku Bua’. Usianya sudah lebih dari 80 tahun
dengan ciri khas telinganya yang panjang. Pengantin didudukan di satu kursi,
didampingi dengan dua anak kecil. Kedua tangan diletakkan di atas paha dan
kedua mempelai diberi petuah dalam bahasa Kayaan Mendalam. Sayapun tidak begitu
paham dengan artinya secara spesifik. Namun nasehat itu dilantunkan dalam
beberapa irama seperti sebuah lagu yang mendayu dayu.
 |
Uku Bua', bertelinga panjang dan memiliki rajah di tangan dan kaki |
 |
Uku Bua', bertelinga panjang dan memiliki rajah di tangan dan kaki |
Selanjutnya kedua pengganti dan anak tadi di ajak
menuju balai-balai lalu di suruh tidur berdua. Keduanya kemudian di tutup dengan tikar
pandan hutan. Ini bearti, mulai saat ini sudah resmi menjadi suami
istri yang siap untuk tinggal bersama dan tidur seranjang. Setelah beberapa saat, kedua pengantin dan sepasang anak kecil tadi disuapi dengan nasi putih
bersama sepasang ikan seluang rebus. Ini melambangkan bahwa sekecil apapun
rejeki yang di dapat akan di bagi sama rata. Setelah ini berakhir maka
keduanyapun kembali didudukan di satu kursi bersama kembali.
 |
Pengantin yang menikah hari ini |
Setelah itu biasanya acara diisi dengan menari bersama
dengan mengumandangkan lagu diiringi sape’ dengan gerakan memutar di tengah
area pesta diikuti bersama –sama keluarga dan tamu yang hadir. Tentu saja ada
makanan khas yang dihidangkan untuk melengkapi acara berupa dinu’ anyeh, dinu’
lulun dan kembang goyang di tambah dengan tuak manis. Makanan kecil ini akan dinikmati
hingga acara berakhir. Setelah sekitar 20-30 menit dan lagu selesai dinyanyikan
maka akan di tutup dengan makan siang bersama.
 |
Mulai mengajak menari dan berputar di area tengah pesta |
Tidak banyak orang yang tahu bahwa adat istiadat
seperti ini masih ada di tanah Kalimantan. Banyak anak muda yang sudah melupakannya.
Padahal jika dikelola dengan baik, bisa jadi acara adat langka seperti ini
menjadi objek wisata budaya dan mungkin saja dapat digabungkan dengan wisata
alam atau wisata budaya lainnya membentuk kesatuan dalam jejaring wisata Kalimantan Barat. Saya berusaha memperkenalkan kampung ini dengan adatnya yang
kaya dan alamnya yang indah. Tidak banyak literatur yang memuatnya dan semoga
tulisan ini bisa jadi salah satu referensi objek wisata Kalimantan Barat di dunia Internet.
 |
Kudapan Kampung untuk Pehawak |
Mari majukan objek wisata Kalimantan Barat yang
berdaya saing dan layak jual di Indonesia maupun mancanegara. Salam Jalan Jalan
Jajan!
44 komentar
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry
Trus aku mikir, nanti kalo Mas Dodon nikah bakal kaya gitu juga ya? Semoga aku diundang, biar lihat langsung.
Masih muda ya yang nikah dan Alhamdulillah masih tetap mau berusaha melestarikan pernikahan adat
Ohya, itu kalo mempelai prianya dari kalangan bawah, ngasih pengikatnya gimana?
Tradisi ini udah mulai jarang dlakukan, mungkin karena berat di seserahan itu kali, ya?? :/
Dan untuk tulisan ini, saya berusaha untuk mengerti kenapa banyak orang yg masih tidak tahu tentang budaya pehawak ini, ya salah satunya karena kurang terekspose dan tersebar informasi. Btw saya pun baru tahu seputar budaya pehawak setelah membaca tulisan ini hehehehe
Ya seharusnya yg diolah pertama itu adalah fasilitas transportasi ke lokasi, padahal kalau diolah dan diatur secara benar oleh pemerintah, ini bisa jadi wisata budaya sekaligus wisata alam. Tapi ya itu jauh dan sulitnya alat transportasi menuju daerah wisatanya, membuat pehawak kurang terekspose..
Btw semoga menang ya bang lombanya X)
Senang bisa membaca tulisan mas Don.
Satu lagi kekayaan Inonesia yang terkuak adalah Pulau Pehawak, Kalimantan.
Paling seneng baca blogmu mas, jadi tau ttg Borneo utamanya bagian Pontianak dan sekitarnya. Suamiku org Kalimantan jg tapi blm pernah ajak aku eksplor Kalimantan blusukan gtu hehehe. Moga2 bisa jelajah Kalimantan suatu hari nanti :D