Sambutan Hangat Kampung Bario di Kelabit Highland




Penerimaan penuh cinta terus kami rasakan, mulai dari bandara, Scott, Ngimat Ayu Guest House dan beberapa orang kampung yang berpapasan. Ini membuat kelompok kami semakin betah dengan kehangatan penerimaan penduduk Bario. Malam ini kami diajak scott ke rumah salah satu penduduk kampung yang masih bersaudara dengannya. Kami dijemput dengan beberapa mobil. Cuaca sangat dingin saya harus menggunakan 3 lapis baju supaya tidak menggigil. Begitu kami masuk, sudah ada ib-ibu dan gadis Bario menggunakan baju adat memegang nanas dan ternyata ini adalah ‘welcome drink’. Bagian dalam nanas sudah dikerok dan dijadikan juice, begitu bagian mahkota nanas dibuka, saya bisa langsung menghirup manisnya nanas bario. Sedap!
Menyambut dengan Nanas Bario
Menari bersama
Lalu kami bersama sama langsung diajak duduk melingkar, rupanya makan malam sudah disiapkan. Saya langsung lapar. Makanan sederhana tapi sangat menarik hati. Sayap ayam yang dimasak dengan santan dan jahe, tumis daun kangkun sungai yang berlendir, tumis bawang kucai dengan teri, tumis daun pakis, sambal terasi dan makanan pembuka berupa bubur nasi yang mirip tinutuan namun isiannya berbeda semua makanan ini tentu ditambah dengan nasi bario yang pulen dan hangat. Malam ini saya dan teman-teman makan dengan lahap. Bahagia itu sederhana, cukup makan dan bahagia.
Scoot Apoi
Menari berputar
Maris Mortel
Setelah itu, masing masing dari kami berkenalan, Ian dan Arlyn dari Kuala Lumpur, Oil Porntip dari Bangkok dan Maris Mortell dari Manila sementara saya dari Pontianak. Kami juga diceritakan bahwa dapur justru yang menjadi tempat aktifitas utama, jika dapur biasanya dibelakang tapi justru disini menjadi ruang tamu sekaligus ruang keluarga sehingga semua menjadi intim. Disini kami juga dihibur dengan alunan alat musik tradisional sape’ yang berbentuk seperti gitar khas suku dayak serta wanita bario yang menari menghibur kami yang ada disekitar ruangan ini. Ternyata semakin malam beranjak justru keluarga tuan rumah semakin ramai berdatangan. Suasana semakin seru.

Arlyn and Me
Tarian dari warga lokal
Oil Menari
Kami merasa sangat diterima disini, sudah seperti keluarga sendiri. Kami juga dipersilakan menggunakan baju adat yang ada lalu diajak menari bersama. Tentu saja gerakan menjadi lucu karena tidak terbiasa dan baru melihat. Meniru hanya dalam 30 menit bukanlah hal mudah walaupun gerakan sederhana. Selain menari ada juga yang menyanyi sembari menemani tarian solo ataupun berkelompok. Gerakan-gerakan ini terus menghantar malam kami hingga waktu berpamitan tiba. Kami mengucapkan terimakasih dengan sambutan yang luar biasa.. Kami kembali ke home stay dan udara makin dingin menusuk. Tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh adalah cara yang tepat. Kami harus beristirahat cukup karena besok waktunya trekking! Sebelum tidur ridak lupa mengisi semua baterai elektronik karena listrik dari genset hanya menyala dari pukul 6 sore hingga 6 pagi saja.
Maris, pemuda lokal dan oil
Menembus Hutan Bario
Saya dibangunkan oleh suara burung yang terdengar kencang di dekat jendela kamar. Saya mengucek mata dan segera mandi. Rupanya beberapa teman saya juga sedang mandi, terdengar teriakan-teriakan histeris kedinginan. Saya melihat alat pengukur suhu ruangan di dinding, 10 derajat. Wajar jika histeris mandi dengan air dingin dan suhu seperti ini. Kami hanya bisa tertawa dengan mengkerut karena setiap orang pasti mengalami hal serupa. Akhirnya tiba giliran saya, mandi pagi ini memang menyiksa seperti ice bucket, tidak lebih dari 8 gayung dan saya segera berlari menuju termos air panas untuk membuat segelas kopi panas. Iya panas! Karena dalam 5 menit saja dia akan menjadi hangat.
Hutan dilembah bukit
Menuruni bukit
Cuaca cerah

Pohon hutan yang tinggi
Kami dan kerbau

Pagi ini sarapan sudah tersedia. 2 jenis kue sebagai kudapan sudah disiapkan yang pertama adalah kue yang bentuknya seperti jemblem, terbuat dari parutan singkong yang diisi dengan gula merah yang kemudian digoreng dan yang satunya lagi adalah keladi. Menu lain adalah nasi dengan abon rusa yang kurang menarik perhatian kami. Saya sendiri sangat jatuh cinta dengan kedua kudapan yang gurih. Terasa beda sekali dengan yang biasa saya makan. Saya sendiri bingung, tampilan fisik tidak berbeda namun rasanya jauh lebih enak. Apakah ini akibat cuaca yang dingin atau memang bahan bakunya yang berkualitas baik.
Savana
Rumah ditengah hutan
Kami siap menuju rumah garam
Kami sudah siap diantar menuju jalur trakking yang paling mudah. Sebelum menuju ke lokasi Bario – Pa’Umor kami melewati jalanan yang cukup jauh, sungai dengan jembatan kayu yang cukup besar serta perkebunan nanas yang menghiasi sepanjang jalan tanah dan pasir. Walaupun matahari bersinar terik kami tetap tidak berkeringat, mungkin akibatsuhu udara yang tidak terlalu dingin. Jalan Bario-Pa’Umor yang bisa dijelajahi dengan kisaran waktu sekitar 3 jam sambil menikmati pemandangan luar biasa. Didalamnya terdapat berbagai macam flora dan fauna yang jarang ditemukan di kawasan lain. Begitu masuk ke jalan tikus ini kami disambut dengan jalan becek berlumpur serta licin. Banyak sekali jejak kerbau yang ternyata dijadikan alat angkut barang kedalam hutan.
Dibungkus dengan daun biar semakin enak
Garam sedang dimasak
Kita mesti benar-benar memperhatikan jalan yang ada karena beberapa jalan hanya bisa dilewati satu persatu atau rawa yang hanya bisa dilewati dengan menginjak kayu bulat. Perjalanan ini membuat keteteran dan butuh kehati-hatian, perlu bantuan tongkat kayu untuk memudahkan kita berjalan. Setelah jalan berliku kami harus melewati padang yang cukup luas dan dipenuhi kotora sapi sampai kami bertemu dengan sebuah rumah sederhana. Disinilah terjawab darimana asal garam yang membuat makanan menjadi gurih. Pa’Umor Salt Spring yang bisa ditempuh dengan waktu sekitar 1-2 jam. Sangat tergantung pada kecepatan kita berjalan dan menguasai medan. Hal menariknya ialah kita dapat menjumpai sumur yang mengandung garam. Situs Pa’Umor Salt Springnya sendiri berada di tengah hutan lebat.
still fashionable
Garam siap dibelah
Semua proses pembuatan garam dilakukan secara tradisional, kami mengintip didalam, terdapat sepasang suami istri sedang membuat garam. Air asin tersebut ditimba dari dalam sumur, kemudian dimasak didalam drum yang dibelah dua menggunakan kayu bakar hingga airnya habis dan tingga garam saja, tidak lupa harus selalu diaduk terus supaya tidak hangus. Asap air panas bersatu dengan asap dari kayu pembakaran membuat mata pedas. Salut dengan sang suami yang mampu melakukan hal ini selama berjam-jam tanpa henti. Mengaduk, memasukkan api terus berulang hingga garam tertinggal didasar drum. Kemudian setelah itu garam dimasukkan kedalam bambu dan disimpan tegak beberapa saat kemudian bambu dibaka seperti membuat lemang agar garam menjadi keras. Baru kemudian garam diambil dengan membuka bambu. Baru kemudian garam yang berbentuk bulat panjang tersebut dibungkus dengan daun sejenis pandan hutan. Kemudian diangkut keluar hutan menggunakan kerbau. Satu selongsong panjang ini dijual RM 20. Cukup mahal memang namun sebanding dengan kelezatannya.
Mari berpetualang
Garam siap jual
Kami bergeser dari rumah di tengah hutan ini dan melanjutkan perjalanan kembali. Ternyata untuk keluar dari hutan ini juga penuh perjuangan. Kami harus melewati hutan basah yang terasa lembab dengan pebuh daun-daun kering berserakan dibawah. Sempat diingatkan untuk waspada dengan langkah kaki karena disepanjang jalan kami melihat banyak sekali pacet yang berjalan mencari mangsa. Sampai akhirnya kami berhasil keluar dan melihat ayam hutan yang terjerat kakinya. Baru kali ini saya melihat ayam hutan secara dekat! Menurut Scott, kami masih harus berjalan lagi kurang lebih 2 jam untuk menuju kampung Pa’ Umor untuk makan siang. Langkah dipercepat karena perut sudah lapar.
Air mengalir sampai jauh
Menyeberang jembatan
Ternyata kami masih harus melewati sebuah puncak bukit yang cukup tinggi, seperti padang savana, dulu disini banyak sekali lubang-lubang tentara Jepang untuk bersembunyi dan berperang. Karena lokasinya yang tinggi, cocok untuk menjadi lokasi bertahan namun sayang sudah banyak yang rusak. Tidak jauh dari savana ini saya melihat ada rumah panjang yang sudah lapuk, saya pikir sampai disinilah erjalanan kami, ternyata belum. Ini adalah rumah yang sudah ditinggalkan penduduk kampung karena mereka sudah berpindah ke lokasi lain. Perjalanan masih terus berlanjut sampai kami menemukan jembatan gantung dengan ketinggian yang mencengangkan. Sedikit lagi kami sampai.
Jembatan Penghubung
Gereja di Kampung Pa'Umor
Sikembar yang menceriakan
Sampai di Ujung jembatan kami langsung duduk lega dibawah rumah singgah yang sepertinya sengaja dibuat untuk wisatawan melepas lelah. Kampung Pa’ Umor hanya berjarak 2 kilometer lagi. Setelah menyegarkan tenggorokan kami kembali berjalan menikmati perjalanan ini sampai akhirnya terlihat rumah kecil yang digunakan sebagai lumbung padi dan beberapa rumah di pinggir jalan. Kami berteriak bahagia saat papan nama desa menyambut kami dan terlihat jalanan kecil menuju pusat kampung ini. Lelah terbayar dengan bahagia dan kami siap untuk makan siang karena perut sudah tidak kuat menahan lapar.
Kami sudah kelaparan
Makan siang!
Diajak ke sebuah keluarga dirumah panjang, disana kami disambut seorang ibu yang sudah mempersiapkan makan siang. Saya sendiri sudah tidak sanggup buat mengambil gambar, sudah keburu lapar. Sayap ayam goreng, sosis goreng dan tumis pakis ditambah nasi Bario yang hangat dan pulen membuat saya tidak menoleh kekiri dan kanan lagi. Saya dan teman-teman terlalu fokus dengan makan siang kali ini. Dalam 15 menit semuanya tandas tanpa sisa. Kami memang benar-benar lapar. Hening saat makan dan hening sesuadah makan, dapur ini ini menjadi tempat tidur siang yang nyaman. Kopi dan teh yang disuguhkan sudah tidak disentuh lagi, kami terlalu lelah karena perjalanan masih berlanjut.
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.