Review Jujur Buku Tradisi Makan Siang Indonesia
Makan siang itu ritual & identitas bangsa! Review buku Tradisi Makan Siang Indonesia: Bukan cuma soal kenyang, tapi jeda bermakna dan diplomasi budaya
Review Jujur Tradisi Makan Siang Indonesia, Kenapa Makan Siang Kita Itu Ritual, Bukan Cuma Lauk Pauk Biasa?
Sudah siap dengan cerita Tukang Jalan Jajan kali ini? Silakan ambil posisi paling nyaman sembari menikmati kudapan atau sambil selonjoran, juga boleh. karena kali ini diriku akan mengajak kamu untuk berkeliling nusantara sembari menikmati makanan lewat buku. Kita bakalan ngobrol panjang soal sesuatu yang kelihatannya sederhana, tapi ternyata punya kedalaman selevel Samudra, “makan siang”.
![]() |
| Review Jujur Tradisi Makan Siang Indonesia, Kenapa Makan Siang Kita Itu Ritual, Bukan Cuma Lauk Pauk Biasa |
Di Balik Pintu Dapur, Mencari Rehat yang Bermakna
Apaan tuh yang bersembunyi di balik pintu? didalam tudung saji atau yang beragam menu yang disajikan diatas meja sederhana di sebuah warung yang sudah berdiri lebih setengah abad? Bikin kamu kangen setiap siang ingin berjumpa dan merasakan bahagia dalam nikmat.
Iya, makan siang.
Yang sering kamu buru-buru telan di antara dua deadline.
Yang kadang cuma kamu anggap formalitas biar nggak pingsan saat meeting sore.
Yang kadang kamu skip demi “diet” tapi ujungnya kelaperan jam 3 sore dan menyerah pada gorengan kantin.
![]() |
| Buku Tradisi Makan Siang Indonesia |
Terdengar sederhana tapi daku yakin setelah membaca buku Tradisi Makan Siang Indonesia, Khazanah Ragam dan Penyajiannya, yang disusun oleh Dr. Amanda Katili Niode beserta kontributor dari seluruh Nusantara, pikiran akan berubah. ada tombol reset yang sengaja ditekan untuk membuat semua sadar bahwa makan siang kita itu bukan sekadar makan.
Ia adalah ritual, identitas, bahasa cinta, dan percaya atau tidak, makan siang menjadi diplomasi budaya yang paling jujur.
Membuka Lembaran Nostalgia di Jam Tengah Hari
Ketika Pukul 12 Siang Menjadi Jam Paling Jujur Dalam Hidup Orang Indonesia. Coba deh kamu renungkan. Dalam menapaki hidup, momen paling jujur kita itu terjadi saat kapan?
Saat interview kerja? Enggak.
Saat sidang skripsi? Apalagi.
Saat chat gebetan? No. Full manipulasi.
Tapi… saat makan siang, kita jadi diri kita yang paling asli. Orang kantor yang dingin bisa tiba-tiba hangat saat makan soto bareng. Mahasiswa yang sok kuat nugas bisa tumbang dan bilang, “Guys, makan dulu, gue lapar banget.” Bapak-bapak yang hemat tiba-tiba royal saat teman bilang, “Ayo makan sate, Pak?”
![]() |
| Buku Tradisi Makan Siang Indonesia |
Dan buku ini menunjukkan bahwa dari Sabang sampai Merauke, jam makan siang adalah jam suci, jam ketika hidup berhenti sebentar, ritme melambat, dan manusia kembali jadi manusia. Ada banyak pertemuan dan perjumpaan hangat lewat sepiring makan siang yang teramu unik. Tanpa batasan gender, usia bahkan selera. Jelas buku ini bercerita tentang makan siang itu bukan “urusan logistik perut”, tetapi jeda bermakna yang menyimpan cetak biru budaya.
Menyelami Makna di Balik Piring, Kenangan dan Kehangatan dalam Rasa
Dan bener banget, saat mulai menyelami 40 tulisan yang dihimpun dari 17 provinsi di 8 pulau, pandangan saya langsung jungkir balik. Buku ini memulai narasinya dengan kelembutan, seolah mengajak kita duduk di meja makan rumah nenek di suatu tempat di Nusantara juga mengajak kita datang kesebuah keramaian, bertemu dalam sebuah pesta rasa yang tak lekang dimakan zaman
Siapa yang tidak memiliki memori tentang bekal anak sekolah?
Di sini, cerita bekal bukan cuma tentang nasi dan lauk sederhana. Bekal adalah simbol cinta yang dibungkus daun pisang atau kotak plastik. Itu adalah usaha keras seorang ibu memastikan nutrisi anaknya terpenuhi, sekaligus cara diam-diam menyampaikan pesan: “Nak, meski kamu jauh, sebagian dari rumah ikut bersamamu.”
Ada kisah yang menceritakan aroma sambal terasi yang menusuk hidung saat tutup kotak dibuka di kantin, dan betapa bekal rumahan selalu menjadi penawar rindu. Kisah-kisah ini berhasil menyentuh sisi paling personal. Saya yakin, setiap pembaca akan teringat bekal andalannya: entah itu nasi kuning spesial, ayam goreng, atau telur dadar tebal nan renyah.
![]() |
| Buku Tradisi Makan Siang Indonesia |
Lalu, kita diajak pindah ke sajian rumahan penuh kehangatan. Bau masakan ibu saat pulang sekolah adalah parfum termahal di dunia. Dalam buku ini, kehangatan itu terwujudkan dalam detail: resep turun-temurun yang diwariskan antar generasi, teknik memasak khas yang hanya bisa diserap melalui pengamatan, hingga pilihan wadah penyajian berupa piring beling tua, mangkuk motif ayam jago, atau cobek batu yang menghitam.
Semua detail kecil ini, yang sering kita anggap remeh, ternyata membentuk narasi yang kuat. Makan siang rumahan, menurut buku ini, adalah inti dari budaya kita. Ia adalah ruang di mana nilai-nilai diajarkan, kabar dibagikan, dan energi diisi ulang secara spiritual, bukan
Ekspedisi Gastronomi 8 Pulau, Dari Sagu yang Melekat Hingga Petis yang Menyengat Lidah
Buku ini seperti mengajak kita naik kapal pinisi dan berlayar menyusuri 17 provinsi.
Dan percayalah, perjalanan ini lebih seru daripada traveling ala travel vlog.
Papua Papeda, Sang Lem Bening Pembawa Pesan Kebersamaan
Papeda bukan cuma “bubur sagu lengket”. Buku ini menggambarkannya dengan begitu sakral — hingga saya benar-benar bisa membayangkan teksturnya yang kenyal, hangat, dan aroma kuah kuning yang pedas-asam itu.
Papeda adalah lambang mo mulayadu, atau tradisi kebersamaan yang menyatukan komunitas.
Memakannya pun butuh teknik khusus, pakai garpu kayu, digulung, ditarik, lalu diseruput.
Siapa bilang fine dining itu ribet? Papeda jauh lebih filosofis.
Kalimantan Selatan, Soto Banjar yang Menghangatkan Jiwamu
Tukang Jalan Jajan sudah sering makan Soto Banjar.
Sesuai dengan lidah dan selera serta prediksi
Tidak pakai santan, tapi pakai susu.
Bumbunya kaya.
Aromanya meditatif.
Buku ini menyebutkan bahwa Soto Banjar adalah representasi kesederhanaan yang hangat, dan bisa hadir dalam semua acara dari makan siang harian hingga pesta besar. Dan saya mengangguk sepanjang membaca.
Memang benar, soto itu makanan paling jujur di Indonesia.
Jawa Timur, Rujak Cingur, Simfoni Chaos yang Justru Harmonis
Ini dia si primadona rasa agresif.
Bayangkan:
pedas + manis + asin + asam + petis udang + cingur kenyal + buah + sayur
Chaos? Iya.
Enak? Banget.
Dalam dbuku tradisi makan siang di Indonesia ini, Rujak Cingur disebut sebagai manifestasi karakter masyarakat Jawa Timur yang terbuka, rame, dan meriah. Saya terpaksa ngakak membaca itu karena memang benar adanya.
Pontianak, Akulturasi budaya menghadirkan rasa nikmat
Makanan di Kalimantan Barat memang sudah banyak pergeseran dan berakulturasi sehingga menghasilkan makanan yang bisa diterima semua lidah. Sifat komunal dan kebersamaan menciptakan makanan yang bisa dinikmati semua orang
Tukang jalan jajan berusaha mengulas makanan lokal yang banyak diabil dari hasil alam. Beberapa makanan langsung diolah, beberapa diawetkan terlebih dahulu baru kemudian diolah untuk menghadirkan rasa baru yang lebih nikmat.
Makanan yang simple, nikmat dan penuh kebersamaan menciptakan suasana hangat apalagi jam makan di Pontianak ini berbeda dengan jam makan pada umumnya yang makan siangnya bisa berpindah pindah tempatnya sehingga bisa berkali kali makan. Makan siang adalah “ruang kecil tempat manusia kembali menjadi dirinya tanpa topeng sosial”.
![]() |
| Buku Tradisi Makan Siang Indonesia |
Meja Panjang, Daun Pisang, dan Rasa Memiliki
Inilah bagian paling magis dari buku ini. Bukan soal makanan, tapi cara kita memakannya bersama. Beberapa tradisi penting yang ditampilkan:
1. Liwetan (Jawa/Sunda)
Nasi panjang di atas daun pisang, sambal di tengah, semua tangan rebutan.
Tidak ada kasta. Tidak ada kelas sosial.
Semua duduk lesehan, semua makan dari sumber yang sama.
2. Botram (Sunda)
Piknik keluarga ala Sunda: santai, riang, penuh tawa kecil saat mengambil lauk yang jauh jangkauannya.
3. Makan Behidang (Minangkabau/Melayu)
Makan besar di dulang besar.
Ada aturan, ada etika, tapi esensinya sama: kebersamaan.
4. Mo Mulayadu (Gorontalo)
Tradisi makan adat yang menegaskan bahwa makanan adalah cara menguatkan solidaritas.
Dalam buku ini disebutkan bahwa makanan adalah bahasa, bahasa yang mengatakan kita adalah bagian dari komunitas yang sama.
Dan saya percaya itu.
Ketika Makan Siang Menjadi Diplomasi Budaya
Tak main-main, buku ini pernah disebut sebagai Best Book in the World dalam kategori tertentu. Media nasional sampai internasional membahas peluncurannya, bahkan hadir di Ubud Food Festival hingga liputan resmi pemerintah. Isinya bukan cuma nostalgia, tapi juga
- kajian akademis
- dokumentasi antropologis
- testimoni praktisi kuliner
- catatan peneliti Pusaka Rasa Nusantara
- refleksi blogger kuliner senior
Saya berterima kasih dengan Bu Amanda dan Mbak Katerina yang mengajak saya sebagai salah satu penulis buku yang memberikan sudut pandang personal dalam melihat makan siang sebagai ruang nilai, bukan sekadar ruang makan.
Buku yang Merekam Identitas, Mengikat Kenangan
Tradisi makan siang Indonesia bukan hanya budaya, tapi harta karun emosional. Buku ini berhasil merekam semuanya:
- ingatan aromatik masa kecil
- pergerakan sejarah kuliner
- keragaman teknik memasak
- filosofi berbagi
- ritual komunal
- bahasa non-verbal cinta keluarga
- dinamika sosial antar generasi
Semuanya hadir dalam satu piring cerita besar.
Setelah Membaca Buku Ini, Saya Tak Bisa Makan Siang dengan Cara yang Sama Lagi. Serius. Saya berubah. Biasanya jam 12 siang itu jam saya bingung mau makan apa.
Tapi sekarang jam 12 siang terasa seperti… panggilan budaya. Bukan lebay.
Tapi buku ini benar-benar membuat saya sadar bahwa setiap suapan punya sejarah, setiap piring punya cerita, setiap makan siang punya makna
![]() |
| Buku Tradisi Makan Siang Indonesia |
Tradisi makan siang Indonesia bukan cuma soal kenyang. Ia adalah cara kita merayakan hidup, mempertahankan identitas, dan mengikat kebersamaan. Kalau kamu belum baca bukunya, baca. Kalau kamu sudah baca, ulangi. Kalau kamu lapar setelah membaca review ini… yaudah, ayo makan siang dulu. Jangan lupa berinteraksi dan bercerita bagaimana serunya
Karena pada akhirnya, makan siang adalah Jeda tubuh, Ritual jiwa, Identitas bangsa.
Dan setelah menyelami buku ini, saya yakin kamu juga akan semakin bangga menjadi bagian dari tradisi makan siang di negeri yang super kaya rasa ini.






18 komentar
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry
Seneng banget bisa bersama Mas Dodon di buku ini. Jadi belajar banyak tentang bagaimana mengurai narasi agar bernilai tambah. Bukan hanya menulis tapi juga menyampaikan ilmu yang sekiranya bermanfaat bagi orang banyak.
Jadi tahu nih selain tradisi yang sering saya dan keluarga lakukan, yaitu ngaliwet dan botram (Sunda pisan) ternyata ada istilah lain yang memiliki makna serupa yaitu makan behidang (dari Minangkabau/Melayu) dan Mo Mulayadu (dari Gorontalo)
Mantap banget ini buku
Kalau di Sunda memang betul ada makan bersama seperti botram atau ngaliwet juga. Walaupun memang tak setiap hari, tapi ini makan siang yang memang penuh makna, karena makan bersama orang-orang terkasih bersama-sama penuh kehangatan dan kekeluargaan, ini salah satu tradisi makan siang yang priceless
Salah satu materi kuliahku dulu bahas juga tentang peran 'perut', makanan dan panggung politik.Gastronomi nih jauh sudah ada sebelum nama gastronomi ini populer. Dulu di berbagai daerah seingatku ada istilahnya sendiri² tapi klo di indonesianya lebih ke Jamuan Kenegaraan gitu. Jadi pengen baca bukunya.. ❤️❤️❤️