Semangat Pagi Sepanjang Sungai Gangga

Sungai Gangga mengalir membelah kota Varanasi dari selatan ke utara. Sebagai sungai Suci, pemerintah berusaha semaksimal menjaga kebersihannya, karenanya seluruh limbah hasil kota tidak dibuang ke sungai Gangga, melainkan ke sungai Varuna dan Sungai Assi, dua sungai yang juga mengaliri kota Varanasi.

Kabut cukup tebal di atas Sungai Gangga, matahari malu-malu muncul. Matahari ini tak bulat penuh karena sebagian bersembuyi di sela sela awan. Saya bersandar menunggu udara dingin disapu hangatnya mentari. Pinggiran sungai ini mulai ramai. Kapal-kapal mulai bergerak dengan sigap menghantur orang-orang yang bekerja atau hanya ingin menikmati sungai Gangga. Kawasan yang memiliki banyak daya tarik. Puas hati ini dapat menikmati matahari terbit di tepian sungai Gangga.
Semangat Pagi Sepanjang Sungai Gangga
Semangat Pagi Sepanjang Sungai Gangga  
Beberapa penduduk tampak mandi dan berendam di sungai Gangga. Saya tidak tahu apakah itu merupakan sebuah prosesi ritual ataukah hanya sekedar mandi biasa semata. Di beberapa tempat lainnya, saya mendapati kain-kain yang sedang dijemur setelah selesai dicuci di sungai Gangga. Itu adalah penyedia jasa laundry tradisional yang masih bertahan di Varanasi dan melayani banyak hotel dan guest house yang banyak bertebaran di sekitar sungaiGangga.
Hiruk Pikuk Kapal di Sungai Gangga
Hiruk Pikuk Kapal di Sungai Gangga
Saya berjalan ke arah Assi Ghat yang jika dipeta lokasinya tidak begitu jauh dari Jain Ghat. Kemiskinan di India tidak jarang membuat kita mengelus dada. Di banyak tempat di ghat-ghat yang ada di Varanasi, tampak para gelandangan tidur sembarangan. Membayangkan begitu kerasnya hidup di India, saya jadi bergidik, Indonesia suatu saat bisa jadi seperti ini. Ketika orang-orang lemah tersingkir dan kalah dari persaingan hidup.
Tandon air di tepian Sungai Gangga
Tandon air di tepian Sungai Gangga
Saya berhenti ketika melihat kumpulan orang yang mandi di sungai Gangga. Beberapa orang menjual bunga dan semaca sesaji untuk dilepaskan di sungai Gangga. Tidak jauh dari sana, tampak ada semacam kursus yoga gratis. Sambil mendengarkan mantra-mantra dan doa dari orang-orang yang melakukan Surya Namashkar, sebuah prosesi pemujaan untuk menyambut matahari terbit, beberapa orang mengikuti pengajaran yoga dari salah seorang yogi. Meski saya tidak pernah belajar yoga sedikitpun, apa salahnya mencoba kan?
Cai Tea di pagi hari
Cai Tea di pagi hari
Di ghat-ghat di pinggir sungai Gangga saya juga menemukan orang-orang berpakaian dan berpenampilan aneh. Mereka nyaris tidak berbusana atau hanya berbalut selembar kain. Tubuhnya ditutupi oleh abu yang berwarna putih. Mereka ini adalah Naga Shadush, yakni satu sekte di India yang hidup di pinggir sungai Gangga. Abu yang menutupi tubuh mereka konon adalah abu dari pembakaran jenazah yang memang banyak dilaksanakan di sana.
Yoga tiap pagi di tepian Gangga
Yoga tiap pagi di tepian Gangga
Matahari beranjak naik, suasana sekitar Gangga mulai ramai dengan beragam aktivitasnya namun tetap hadirkan nuansa yang hening dan penuh ketenangan. Antara mantra-mantra penuh doa, nyanyian para hippies hingga gelandangan yang tidak mempunyai harapan, semuanya memenuhi fragmen saya tentang sungai Gangga dan Varanasi pagi itu. Sebuah memori yang mungkin tidak akan saya lupakan dalam waktu yang cukup lama.
Semangat Pagi Sepanjang Sungai Gangga
Semangat Pagi Sepanjang Sungai Gangga 
Puas berkeliling sungai Gangga, saya bergegas pulang ke guest house untuk mandi. Sebelum pukul sepuluh pagi, saya, Iman dan Alva harus segera ke Varanasi Juction untuk mendapatkan tiket kereta api yang akan membawa kami menuju Kolkata. Pergulatan dengan waktu tentu menimbulkan banyak drama yang luar biasa. Ini dan itu silih berganti. Menyusun jadwal cadangan dengan berbagai macam rencana juga apa yang diharapkan tidak sesuai dengan harapan. Seperti pengalaman beberapa waktu lalu, memesan tiket kereta api di India tidak selalu berjalan mulus. Ada saja tantangan dan rintangannya.

Varanasi junction tidak bisa dicapai dengan mudah karena posisi yang cukup jauh. tentu saja kami harus menyewa rickshaw untuk bisa sampai kesana. teknik umplek umplekan sepertinya sudah jadi kemampuan yang harus dimiliki selama di India untuk bisa berhemat. Mari meluncur!
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.