Menembus Daratan Laos Menuju Kamboja

Menembus Jalan Darat dari Pakse ke Poipet. Entah sudah berapa banyak menembusi perbatasan darat satu persatu dengan berbagai macam drama dan intrik ala perbatasan Asia Tenggara yang terkadang hanya ada palang pembatas dengan gubuk berisi petugas imigrasi dengan sekotak stempel.


Saat itu tanggal 10 Januari 2015, hampir 4 minggu saya habiskan perjalanan darat menembus Asia Tenggara, bermula dari Batam, menuju Singapura, Malaysia, Thailand, Myanmar, Laos dan titik berikutnya adalah Kamboja lalu berakhir di Vietnam. Entah sudah berapa banyak menembusi perbatasan darat satu persatu dengan berbagai macam drama dan intrik ala perbatasan Asia Tenggara yang terkadang hanya ada palang pembatas dengan gubuk berisi petugas imigrasi dengan sekotak stempel. Jangan bayangkan melewati perbatasan Singapura Malaysia atau Malaysia Brunai Darussalam yang sudah ciamik. Saya harus melewati jalan berdebu dengan berjalan kaki kurang lebih 500 meter dengan melewati dua palang pintu antara Laos dan Kamboja. Tempat ini bernama Pakse dan disinilah cerita saya bermulai. Menembus jalan darat Laos menuju Kamboja bukan perkara mudah

Menembus Daratan Laos Menuju Kamboja
Menembus Daratan Laos Menuju Kamboja
Menembus perbatasan antar negara bukan cerita mudah. Merasakan terlunta – lunta tak tentu arah. Bahasa jadi kendala utama. Bahasa Inggris yang dipelajari dari kecil seakan tak berguna. Berbagai macam vocabulary dan tata kalimat bagai menguap terkena panas mengangkasa bersama debu. Belum lagi wajah sinis penjaga gerbang kedaulatan antara Laos dan Kamboja yang berbicara tanpa melihat wajah dan dengan kalimat yang tidak saya mengerti. Secarik borang dilemparkan untuk diisi.

Setelah di gerbang saya dicegat petugas karantina kesehatan yang memberikan berbagai macam brosur kesehatan dan memaksa saya membayar 2 dolar amerika untuk hal yang tidak jelas. Pria kulit putih didepan saya dipaksa membayar 5 dolar Amerika. entah berapa kali dia mengumpat tapi sepertinya petugas tidak memperdulikan atau dia tidak mengerti? entahlah! saya benar-benar lelah dengan tas punggung seberat 12 kilo yang sudah saya tenteng lebih dari 14 jam perjalanan tanpa henti.

Seperti sapi yang digiring, kami semua disuruh berbaris menuju loket stempel imigrasi. beberapa orang kulit putih disuruh menuju ke loket belakang untuk membeli VISA ON ARRIVAL (VOA). Saya mendengar beberapa orang mengumpat karena mereka diminta dolar dalam jumlah besar. Tidak ada kejelasan berapa harga VOA yang pasti. Tulisan seperti cacing terangkai indah. Papan itulah yang ditunjuk oleh petugas imigrasi. Lha? Kami semua mana mengerti. Beberapa orang yang sudah memiliki VISA multi enter sepertinya menyelipkan beberapa lembar KIP dan dolar sebagai pelicin. Saya tidak melakukan hal yang sama. Budget pas-pasan. Ngga sanggup ujar saya dalam bahasa Inggris dengan seorang perempuan bule dari Amerika didepan saya. “You will get trouble”, ujarnya sedikit berbisik. Butuh sabar ekstra menjalani perjalanan darat antara Laos dan Kamboja ini.

Sore terakhir 2015 di Vientiane
Sore terakhir 2015 di Vientiane
Saya nyengir dan terus maju dengan percaya diri memasukkan paspor dan borang masuk yang sudah saya isi. “VISA?”. ujar bbapak petugas imigrasi. tak tampak wajahnya menoleh kearah lubang kecil bertutup kawat nyamuk ini.Saya celingak celinguk sambal menempelkan mulut saya ke lubang kecil. “Negara ASEAN ngga perlu VISA dong”. jawab saya. Bapak petugas itu menjawab “O? wait!”. Saya yakin dia tahu aturan imigrasi ini, tapi saya yakin ini alasan saya karena tidak menyelipkan pelicin sehingga ada saja alasan dia untuk membodohi saya. Entah apa yang diobrolkan dengan teman kerja disebelahnya. Saya bisa melihat paspor saya dilempar ke sebelah tumpukan stempel.



menunggu malam pergantian tahun di Vientiane
menunggu malam pergantian tahun di Vientiane
Entah kenapa, antrian yang berada dibelakang saya sudah selesai semua dan mereka lancer tanpa ditanya apapun. Saya pun bertanya kembali dengan sedikit cemas karena supir van sudah berteriak teriak memanggil kami untuk cepat masuk kedalam van yang sudah berganti plat Kamboja. Lagi-lagi dengan santai petugas berkata, “Wait, stand up there!”. Duh! kesel, sayapun menggunakan jurus memohon. Saya meminta dengan memelas bahwa van saya sudah akan berangkat karena jika ditinggal tidak akan ada kendaraan yang melintas. Duh, saya merasa rendah dan hina.

Bus yang digunakan dari Viantiane ke Pakse
Bus yang digunakan dari Viantiane ke Pakse
setelah menangkap lemparan paspor, saya Setengah berlari dan tancap gas menuju van yang sudah ditutup bagasinya oleh supir. Saya tidak jelas apakah dia mengumpat atau kesal karena menunggu saya terlalu lama. duduk paling pinggir di van sempit. Inilah yang namanya “umplek umplekan”, dalam vansempit ada 16 orang dibagian belakan plus saya harus memangku backpack berat ini. belum lagi koper besar dua turis Jerman didepan kaki saya. Rasanya tubuh ini sudah mengotak dan muka sudah tebal dengan debu. saya harus menahan posisi ini hingga 7 jam lagi menuju Poipet. Saya tersandar lelah dan lusuh.

Van dari Pakse ke Poipet
Van dari Pakse ke Poipet
Jika ingin mencoba perjalanan menembus daratan Laos menuju Kamboja seperti saya, siapkan uang pecahan kecil baik dolar maupun lokal. Jangan lupa bawa air minum yang banyak dan cemilan yang cukup untuk membantu menahan lapar diperjalanan karena kamu tidak pernah tahu kapan bisa beristirahat dan makan.
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.