What About Kuching 2019, A Stroll Through Kuching’s Law

What About Kuching 2019, A Stroll Through Kuching’s Law, Paul mengatakan bahwa perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan rute yang sudah disiapkan seperti Old Courthouse, Chinese street, Chinese museum, menyeberang dengan sampan menuju kampung Boyan lalu menuju ke benteng Margherita. Disinilah perjalanan berakhir.
“Jika ingin tahu tentang sebuah kota, pelajari saja sejarahnya”
What About Kuching 2019, A Stroll Through Kuching’s Law
What About Kuching 2019, A Stroll Through Kuching’s Law
Sering sekali mendengar tulisan ini atau ungkapan ini disampaikan beberapa teman traveler, itulah sebabnya Tukang Jalan Jajan mendatangi beberapa museum untuk mendapatkan banyak cerita jika bertandang ke suatu daerah atau negara. Tentu, lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain bangsa lain adat istiadatnya. Salah satu solusi terbaik memang mendatangi museum tapi terkadang, kita harus merogoh kocek agak dalam untuk masuk. Beberapa ada yang gratis alias tak berbayar, namun tak sedikit pula yang berkarcis mahal.

Biasanya free walking tour ada nya di kota kota besar, lebih banyak di negara Eropa. Biasanya dikelola oleh agen perjalanan atau juga oleh kumpulan atau organisasi tertentu yang perduli dengan wisata dan sejarah kota tersebut. Biasanya akan ada relawan yang membantu untuk menjadi guide. Ada orang tua yang sudah pensiun dan ingin mengisi waktu atau ada pula mahasiswa yang sekedar ingin mendalami bahasa Inggris dan memperluas jaringan sekaligus belajar lagi tentang pariwisata atau sejarah. Dengan ikut free walking tour, biasanya Tukang Jalan Jajan bisa melihat banyak tempat wisata di suatu kota sambil mendengarkan cerita sejarah kota tersebut dari pemandu profesional. Jumlah peserta free walking tour disesuaikan, ada yang on the spot ada pula yang harus mendaftar terlebih dahulu. Sesuai namanya, free walking tour biasanya tidak perlu membayar. Namun bila puas dengan guide kita bisa memberikan tips di akhir tur, bila tak suka dengan turnya, boleh juga tak memberi tips.

Free Walking Tour di What About Kuching

Saya senang saja saat What About Kuching mengajak saya ikut free walking tour dengan tema “A Stroll Through Kuching’s Law” untuk mengetahui sedikit sejarah tentang bagaimana awal mula White Rajjah atau Raja bangsa putih ada di Sarawak termasuk juga bagaimana bangsa lain bisa berada di Sarawak. Pemandu saya adalah Paul dari Sarawak Heritage Society, usianya tidak muda lagi namun sangat perduli dengan semua peserta. Seperti sudah diingatkan Paul satu hari sebelumnya, kami semua yang sudah terdaftar diminta untuk hadir pukul 8 pagi di sekitar Square Tower. Paul juga meminta untuk berjaga jaga dari panas dan kemungkinan hujan selama perjalanan. Saya sudah mempersiapkan sebuah poncho untuk menjaga diri.

Paul Gerarts menjelaskan asal mula kebijakan hukum di Sarawak bermula saat Brooke memimpin
Paul Gerarts menjelaskan asal mula kebijakan hukum di Sarawak bermula saat Brooke memimpin
Tukang Jalan Jajan datang tepat pukul 8 pagi dan sudah ada beberapa orang yang hadir. Paul sendiri langsung menebak nama saya, menyalami dengan hangat, bertanya kabar dan meminta saya untuk mengisi form yang disediakan. Kebanyakan peserta datang dari Malaysia, beberapa dari Eropa dan saya sendiri dari Indonesia. Paul mengatakan bahwa perjalanan ini akan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan rute yang sudah disiapkan seperti Old Courthouse, Chinese street, Chinese museum, menyeberang dengan sampan menuju kampung Boyan lalu menuju ke benteng Margherita. Disinilah perjalanan berakhir.

A Stroll Through Kuching’s Law

Kami bergegas menyeberang jalan menuju The Old Court House. Dan Paul mulai menjelaskan tentang uniknya sistem hukum yang ada di Sarawak sejak awal mula Brooke Raj. Dengan berbekal sebuah buku bergambar berisi foto dan sketsa. Ia menjelaskan sedikit demi sedikit bagaimana awal mula hukun itu terbentuk sejak tahun 1841 -1946. Dulu Sarawak dikuasai oleh sultan Brunai lalu diberikan kepada Brooke. Brooke memulai membuat hukumnya berdasarkan kebiasaan masyarakat. Dari adat budaya, dibangunlah aturan yang bisa diterima semua pihak. Broke mengajak semua pemimpin masyarakat bekerja sama dan membentuk suatu kelompok besar. Aturan dibuat agar ada Batasan yang jelas sebagai norma yang berlaku kemudian dicatat dan menjadi hukum yang berlaku bagi semua.
 
Paul Gerarts menggunakan foto dan sketsa untuk menjelaskan
Paul Gerarts menggunakan foto dan sketsa untuk menjelaskan What About Kuching 2019, A Stroll Through Kuching’s Law
A Stroll Through Kuching’s Law dijalankan dengan harapan orang-orang dapat menghargai sejarah Sarawak dalam perjalanan khusus ini, mempelajari bagaimana sistem peradilan mereka bekerja, hukum yang mereka gunakan, beberapa penilaian luar biasa dan bangunan mana, apakah masih ada atau tidak, digunakan untuk pengadilan, penjara dan kepolisian. Perjalanan ini adalah tentang warisan sejarah, bagaimana semuanya berkembang seiring sejalan dengan waktu. Paul yang mendapat banyak ilmu dari Arts-Ed for the George Town World Heritage Inc juga menyampaikan pada semua peserta bahwa sekalipun kamu adalah penduduk local Kuching namun belum tentu tahu akan banyak cerita dan sejarah yang ada di kota ini.
 
Bangunan The Old Court tempat tempat pemerintahan Brooke berjalan
Bangunan The Old Court tempat tempat pemerintahan Brooke berjalan
Sambil mendengarkan penjelasan, saya berpikir bahwa setiap kota mempunyai cerita seperti puzzle yang sepotong sepotong lalu berkembang menjadi puzzle baru, jika tidak disatukan dengan mencari bukti tertulis maka mereka tidak pernah tersambung satu sama lain. Pengalaman yang didapat kali ini sungguh berharga. Saking banyaknya informasi saya merasa banyak mendapat pemikiran baru. Ini baru dari segi hukum belum dari sisi yang lainnya lagi

Kepingan Sejarah di A Stroll Through Kuching’s Law

Tukang Jalan Jajan tidak akan mampu menangkap semua penjelasan Paul satu persatu. Namun sedikit yang saya gambarkan setangkapan telinga bahwa Brooke menyatukan berbagai suku bangsa yang ada di tanah Sarawak lalu membuat hukum yang bisa diterima semua orang. Merangkul semua kepala suku dan membantunya untuk membangun sebuah komunitas baru yang lebih besar. Brooke membangun pusat pemerintahan berawal dari rumah kayu yang memiliki ruang tamu yang lebar dimana ada waktu tanya jawab dan pertemuan dengan semua pihak termasuk masyarakat. Semua orang bebas mengemukakan pendapat atau bertanya tentang keputusan. Kabarnya tempat ini sekarang menjadi astana.
 
Bagian dalam Old Court yang dibangun secara bertahap
Bagian dalam Old Court yang dibangun secara bertahap
Inilah yang tertulis dalam sejarah “Astana (Istana), yang sekarang merupakan kediaman resmi Gubernur Serawak, dibangun di samping rumah pertama Brooke. Bangunan ini dibangun pada tahun 1869 sebagai hadiah pernikahan untuk istrinya. Kuching terus berkembang di bawah kepemimpinan rajah ke tiga, Charles Vyner Brooke, yang menggantikan ayahnya. Namun tak lama setelah perayaan seratus tahun Brooke di Sarawak, beberapa bulan kemudian, pemerintahan Brooke hampir selesai karena kependudukan Jepang di Sarawak”.
Bangunan The Old Court yang terakhir dibangun
Bangunan The Old Court yang terakhir dibangun
Karena semakin banyak yang bergabung dan semakin besarnya komunitas maka dibuatlah bangunan yang lebih besar dan permanen di seberang sungai Sarawak yang kemudian menjadi old court. Tidak sebesar yang sekarang namun satu persatu, sepetak demi sepetak sehingga menjadi seluas sekarang. Bangunan ini diperuntukkan bagi banyak divisi pemerintahan, administrasi, hukum, pemerintahan dan keuangan. Semua dibangun satu persatu. Brooke juga memikirkan bahwa ia membutuhkan petugas yang mengawal hukum sehingga diperlukanlah polisi dan penjara sampai akhirnya petugas perbatasan yang menjaga teritori. Semuanya diambil dari anggota komunitas.
 
Chinese Street , Kuching, Sarawak, Malaysia
Chinese Street , Kuching, Sarawak, Malaysia
Yang menarik bagi saya, orang yang terhukum tidak mendapat siksa, mereka diperkerjakan untuk membangun Kuching dan mendapat upah walaupun uangnya digunakan utuk pembangunan lagi. Paul menunjukkan pada kami sketsa bangunan kantor polisi, pakaian yang digunakan sampai pembukuan keuangan dari para tahanan penjara yang dipekerjakan. Semua catatan rapi ini tersimpan sebagai arsip sejarah. Puzzle inilah yang harus disatukan satu sama lain. Setelah puas menunjukkan Gedung old court yang masih difungsikan ini, kami melewati Chinese street sebagai salah satu lokasi berkembangnya Tionghoa di Kuching. Komunitas inipun terus membesar, semula ingin menguasai namun berhasil dirangkul oleh Brooke.
 
Chinese Museum, Kuching Sarawak
Chinese Museum, Kuching Sarawak
Paul mengajak kami berhenti di Chinese Museum, ia menjelaskan bahwa Tionghoa yang masuk ke Sarawak dari berbagai sub suku yang menyebar akibat berlayar atau hijrah. Mereka pun punya pekerjaan yang berbeda, mulai dari pekerja, petani, penambang emas, pedagang sampai orang terpelajar. Perkembangan pesat di Sarawak tetap dapat dikontrol oleh Brooke selama ia memimpin sampai akhirnya wilayah semakin luas dan brooke mendapat ancaman dari negara lain. Karena merasa terancam, iapun membangun benteng pertahanan, Paul mengajak kami menyeberang sungai Sarawak menggunakan perahu motor. Sekali naik, kami harus membayar RM 1 sekali jalan.

Benteng Margherita, Cinta Brooke untuk sang Istri

Tukang Jalan jajan perlu menulis ini, sama seperti Taj Mahal, ternyata Brooke juga romatis. Saya sempat masuk kedalamnya dengan membayar karcis, tapi saat A Stroll Through Kuching’s Law saya tak kembali masuk karena baru dua minggu lalu masuk ke tempat ini, akan saya ceritakan di tulisan lain namun masih dalam blog ini.
Peserta siap menyeberang Sungai Sarawak menuju kampung Boyan
Peserta siap menyeberang Sungai Sarawak menuju kampung Boyan
Istri Charles Brooke pernah menulis di dalam otobiografinya, berjudul (My Life in Sarawak), dan menuliskan deskripsi tentang Kuching:
“Kota kecil ini tampak begitu rapi, segar dan makmur di bawah yurisdiksi cermat dari Rajah dan petugas, bahwa hal ini mengingatkan saya pada sebuah kotak mainan yang tetap dijaga teliti dengan bersih oleh seorang anak. Bazar berada pada jarak tertentu di sepanjang tepi sungai, dan hampir semuanya dihuni oleh pedagang Cina, dengan pengecualian satu atau dua toko India .... Pelbagai barang eksotis yang diletakkan di meja dekat trotoar, di mana pembeli dapat membuat pilihan mereka. Di toko-toko India anda dapat membeli sutra dari India, sarung dari Jawa, teh dari Tiongkok, ubin dan porselen dari seluruh belahan dunia, tercantum dalam kebingungan yang indah, dan meluap ke jalan”.
    — Margaret Brooke, istri Charles Brooke.
Peserta siap menyeberang Sungai Sarawak menuju kampung Boyan
Peserta siap menyeberang Sungai Sarawak menuju kampung Boyan
Benteng ini baru saja direnovasi, dirapikan dan diberi pemulas putih diseluruh bagiannya, sebuah benteng tua yang dibangun tahun 1879 oleh Charles Brooke, Rajah of Sarawak yang berlokasi di Kuching, Sarawak, Malaysia. Salah satu bangunan penting yang digunakan sebagai perlindungan sekaligus mercusuar. Paul menunjukkan angka 1880 dibagian atas serta lambang kerajaan Brooke berupa musang dan tameng. Ini adalah lambang resmi yang melambangkan trah Brooke sebagai penguasa Sarawak. Dulu, bangunan ini juga dijadikan mercusuar penanda lalulintas masuk kapal besar karena ada beberapa pelabuhan sebagai pintu masuk ke Sarawak

Paul menceritakan sedikit tentang Benteng Margherita
Paul menceritakan sedikit tentang Benteng Margherita
Benteng yang dibangun dengan gaya seperti kastil di Inggris ini sengaja dibuat untuk melindungi Kuching dari serangan bajak laut. Ia berfungsi sebagai Museum Polisi sejak tahun 1971, setelah itu diserahkan kepada pemerintah negara bagian Sarawak dan kini adalah sebuah objek wisata di Kuching. Benteng Margherita merujuk pada nama istri tercinta Charles Brooke, yaitu Margaret Alice Lili de Windt, yang dinikahinya di Highworth, Wiltshire pada 28 Oktober 1869; yang diberi gelar Ranee of Sarawak dengan panggilan Her Highness pada saat pernikahan mereka. Terdapat lokasi kuburannya serta beberapa kuburan lain dipemakaman disamping bukit dekat benteng yang menghadap ke Sungai Sarawak sebelah utara. Benteng ini tidak besar namun setiap pojoknya terdapat meriam aneka ukuran yang berfungsi melindungi kota Kuching dari serangan di Sungai

Bangunan bermenara tiga tingkat ini memiliki sebuah tempat pengawas di puncaknya, sebuah lapangan yang dikelilingi oleh tembok tinggi yang bertatahkan pecahan kaca tajam untuk perlindungan, jendela kayu yang tertanam ke dinding untuk tempat menembakkan meriam. Eksekusi tawanan dilakukan di lapangan tersebut, dan berlangsung sampai masa Pendudukan Jepang selama Perang Dunia II. Benteng Margherita saat ini letaknya berdampingan dengan Bangunan Dewan Undangan Negeri Sarawak Baru dan difungsikan sebagai musium Brooke. Kita bisa masuk dan naik sampai di puncak benteng untuk melihat keindahan Sungai Sarawak dari atas.
Sungai Sarawak di Siang hari tepat pukul 12 siang
Sungai Sarawak di Siang hari tepat pukul 12 siang
Terima kasih banyak untuk What About Kuching 2019 team yang sudah memfasilitasi saya selama di Kuching untuk mengikuti banyak program yang mereka adakan. Tanpa  kalian, tentu tidak banyak hal yang bisa saya tuliskan. Tak sabar menunggu acara ini kembali di tahun depan!
Mau mencoba ikutan tahu sejarah di Kuching? Hubungi Paul Gerarts (+60 14 907 4406) pgerarts@gmail.com
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.