Red Fort Benteng Penjaga New Delhi

Bangunan Red Fort atau Lal Qila didirikan oleh kekaisaran Mughal. Raja Shah Jahan memulai pembangunannya tahun 1546 selama sembilan tahun
Jalan-jalanan di New Delhi sangat semrawut. Tidak ada jarak antara rickshaw, sepeda motor, mobil ataupun gerobak yang ditarik oleh sapi. Semuanya berbagi dalam satu jalur yang sama. Belum lagi banyak pedagang kaki lima yang memakan badan jalan. Bunyi klakson tak henti berteriak memekakkan telinga. Awalnya saya selalu khawatir apakah bunyi klakson itu diperuntukkan bagi saya, tapi lama-lama saya sudah tidak memperdulikannya lagi. Berjalan kaki di India tidak hanya harus melihat ke depan atau ke kiri dan ke kanan, tapi juga kebawah. Kotoran anjing dan sapi yang ada di mana-mana bisa saja terinjak kaki. Jadi tetaplah waspada dan berhati-hati!
 
auto rickshaw di jalanan India
Rickshaw
Sebenarnya jalanan yang saya lewati ini lumayan besar. Tapi terlalu banyak kendaraan yang parkir sembarangan, sementara di trotoar dipenuhi oleh pengemis dan gelandangan yang tidur sembarangan sehingga membuat jalanan tampak kumuh. Makin diperparah lagi aroma pesing menusuk hidung yang datang dari berbagai sudut. Saya melihat sendiri banyak orang yang santai saja kencing sembarangan. Lalat beterbangan di mana-mana. Sampah-sampah di buang sembarangan.

Pemandangan seperti ini tampaknya sudah menjadi hal biasa dijalanan kota Delhi. Buktinya banyak orang yang berlalu-lalang tanpa merasa terganggu dengan kondisi tersebut. Padahal sebenarnya, jika tertata rapi, jalanan ini akan apik karena cukup rindang. Pohon-pohon besar yang usianya sudah puluhan bahkan ratusan tahun ditambah dengan bangunan-bangunan tua bergaya Inggris berdiri di kanan-kiri sepanjang jalan ini. Sayangnya semuanya terlihat kumuh karena tidak terawat sama sekali.

Selamat Datang di Red fort
Selamat datang di Red Fort
Sesampainya dijalan utama hiruk-pikuk kian terasa. Kendaraan dan manusia semakin padat. Jalan raya yang seharusnya bisa digunakan tiga jalur kendaraan, sepertinya tidak cukup menampung manusia, kendaraan dan juga hewan yang sama-sama menggunakan jalan tersebut.

Di sepanjang Mina Bazaar atau Chatta Chowk ini saya menemukan banyak toko-toko yang terlihat tua. Di sini dulunya memang terkenal sebagai sentra penjualan paling besar, bersih dan mewah pada zaman kekaisaran Mughal. Hanya saying, pasar yang berusia ratusan tahun itu kini sudah tidak terjaga lagi. Kumuh dan kotor, itulah kesan yang saya dapatkan disini. Di antara toko dan bangunan juga terlihat kuil Hindu yang letaknya tidak berjauhan dengan kuil kaum Sikh. Saya melihat kuil kaum Sikh ini dijaga ketat oleh polisi bersenjata. Beberapa orang berturban yang lewat, tiba-tiba berjongkok dan memegang tanah di pintu masuk kuil ini lalu meletakkan tangannya di dahi.

Bangunan merah di depan Red Fort
Bangunan Merah
Bangunan merah didepan Red Fort
Akhirnya saya tiba di seberang Red Fort yang tampak megah dan merah dari kejauhan. Saya sempat kebingungan untuk menyebrang jalan Netajhi Submash Mark yang padatnya bukan main. Hingga akhirnya saya mengekor warga lokal yang menyebrang sembarangan. Lampu merah di perempatan jalan ini tidak berfungsi (atau tidak dianggap berfungsi). Kendaraan tetap saja saling silang. Ternyata untuk menyeberang jalan di Delhi, mirip seperti di Phnom Pehn dan Ho Chi Min. Tidak perlu memperdulikan kiri kanan, fokus saja ke depan, dan sampailah saya di depan  Red Fort yang dipasangi pagar pembatas. Saya awalnya agak bingung mencari pintu masuk. Namun setelah berjalan agak maju ke depan saya menemukan pintu masuk kecil dengan dua buah pintu berpemindai. Jika datang siang hari maka badan akan diperiksa polisi saat masuk.

Bangunan Red Fort atau Lal Qila didirikan oleh kekaisaran Mughal. Raja Shah Jahan memulai pembangunannya tahun 1546 selama sembilan tahun. Benteng seluas 2,4 hektar ini terdiri dari Paviliun dan berbagai bangunan yang kesemuanya dihubungkan dengan taman, saluran air dan kolam. Arsitekturnya sangat khas, bergaya Persia dan timur tengah dengan sentuhan gaya Hindu tradisional. Dibangun oleh dua arsitektur muda Ustad Hamid dan Ustad Ahmad. Mereka meletakkan 2 pintu gerbang utama di bagian Barat dan Selatan yaitu Lahore Gate dan Delhi Gate.

Bagian Dalam Red Fort
Saya memasuki Lahore Gate yang berada di sebelah barat sebagai akses utama seluruh wisatawan yang datang. Di depannya terdapat lapangan sekaligus taman. Kemungkinan dua kali lapangan bola luasnya. Banyak orang yang berlalu lalang sembari berfoto, kebanyakan swafoto dengan latar belakang Red Fort yang merah terang.
Gerbang Masuk menuju Lahore Gate
Gerbang menuju Lahore Gate
Agak bingung awalnya mencari letak loket tiket yang ternyata ada di bagian sebelah kiri berdampingan dengan toilet yang berada agak ke bawah. Tiket masuk untuk warga lokal sebesar  15 rupee sedangkan untuk turis  250 rupee. Perbedaan harganya mencolok sekali memang. Tapi jika anda punya nyali, coba saja berpura-pura mengantri dan mengaku sebagai turis lokal. Orang-orang dari beberapa negara tetangga seperti Bangladesh, Pakistan, Maladewa dan Thailand juga diberlakukan harga tiket yang sama dengan warga lokal.

Lorong Lahore Gate menuju bagian dalam RedFort
Lorong Lahore Gate
Lahore Gate
Setelah tiket masuk sudah di tangan, saya kembali menuju pintu gerbang Lahore Gate yang di jaga tentara bersenjata lengkap. Kembali barang bawaan harus masuk pemindai dan bagian tubuh juga diperiksa menggunakan detektor logam. Pria dan wanita masuk melalui gerbang terpisah. Antrian hari itu cukup panjang namun semua berjalan dengan lancar. Saya pikir setelah masuk gerbang pertama maka saya akan langsung bisa menikmati isi dari benteng itu. Ternyata saya salah. Masih ada satu gerbang yang tersambung dengan sebuah lorong panjang yang merupakan bangungan pintu masuk lengkap dengan belasan toko di kiri-kanan lorong tersebut.  Toko-toko tersebut menjual pernak-pernik dan buah tangan yang cocok untuk dijadikan oleh-oleh. Lorong ini sendiri adalah bagian dari Naubat Khana yang terdiri dari empat lantai dan merupakan ruangan bermusik Shah Jahan untuk mengasah hobinya

Bagaimana dengan bangunan lain di dalamnya? Saya akan melanjutkan cerita ditulisan selanjutnya


Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.