Teh Indonesia Juga Juara
Hai bloggers, hari
ini pengen menulis tentang teh, penasaran juga mengulik ngulik soalnya saya
termasuk penggemar teh yang hampir tiap hari meminum teh hijau tanpa gula.
Selain rasanya enak, biasanya juga tentu yang dicari adalah khasiatnya. Kalau
dulu banyak sekali dibuka warung kopi di berbagai daerah dan tempat dan tentu
saja dengan racikan yang berbeda beda, saat ini warung teh juga tidak kalah
banyaknya, mengandalkan berbagai macam jenis dan tentu saja racikan khas
masing-masing.
Ada juga yang sampai
membuka kelas penyajian teh agar benar dan tepat bagaimana menyajikan teh dan
tentu saja tidak kehilangan khasiatnya. Banyak cara dan usaha yang bisa
dilakukan untuk mendapatkan teh dengan rasa yang luar biasa. Jangan salah juga
bahwa terbaik itu beraasal dari Indonesia, sayangnya teh terbaik dari Indonesia
justru diolah diluar Indonesia. Miris memang tapi itulah kenyataan yang ada.
Siapa
yang menyangka kalau Teh Kayu Aro di Jambi, adalah teh kualitas no. 1 di dunia?
Teh Ty Poo, perusahaan Inggris produsen teh premium dunia, yang terkenal
di Inggris didirikan Sir John Jr., memakai bahan baku Teh Kayu Aro, dimana
memosok produk teh ke keluarga bangsawan di Eropa. Bukan hanya itu Ratu Belanda
sejak Ratu Wihelmina, Ratu Juliana hingga Ratu Beatrix adalah penikmat teh kayu
aro ini. Namun sayangnya bangsa Indonesia tidak mampu atau tidak bisa merasakan
nikmatnya aroma teh yang diambil dari pucuk teh pilihan, menghasilkan teh
berwarna orange bening dengan rasa kental di lidah dan bertahan lama yang
dihasilkan oleh dataran tinggi Kayu Aro, Kerinci - Jambi, Sumatera- Indonesia.
Perusahan
Teh Kayu Aro dibuka oleh perusahaan Belanda dengan nama Namblodse Venotschaaf
Handle Vereniging Amsterdan (NV HVA) tahun 1925, merupakan perkebunan teh terluas
di dunia setelah perkebunan teh Darjeling di kaki gunung Himalaya, dengan luas
3.020 hektar, yang rata-rata menghasilkan 80 ton daun basah per harinya. Dan
uniknya lagi pengolahan Teh Kayu Aro ini, tidak berubah sejak jaman Belanda,
yaitu pengolahan secara tradisional tanpa bahan pengawet dan bahan pewarna.
Saat ini pengawasan perusahaan teh ini dibawah PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN
VI), mulai dari perawatan dan pemeliharaan tanaman, pemetikan pucuk teh,
pengolahan di pabrik, pengemasan hingga pengiriman.
Kualitas
Grade 1 teh ini tidak dipasarkan di Indonesia, hanya untuk perdagangan luar
negeri terutama Eropa dan Amerika. Bayangkan saja harga jual pabrik $ 2,89/kg,
bandingkan dengan harga satu merek yang dikemas di Inggris, dengan memakai
bahan baku Teh Kayo Aro ini oleh Ty Poo diharga 1,8 Pounsteling untuk 1/4 kg,
sedangkan harga di Indonesia untuk kemasan 1 box hanya berkisar Rp 3.500 saja.
Kualitas grade 2 & 3 juga dipasarkan tapi tentu rasanya berbeda, bila grage
1 tanpa ampas dan serbuk, maka grage 2 & 3 dicampur daun dan batang dan
tentu saja warnanya tidak orange lagi. Kualitas Grade 3 dipasarkan di Indonesia
ke para produsen teh, sebagai bahan campuran dari bahan baku teh yang ada di
Indonesia. Dan teh ini juga dipasarkan dalam bentuk kemasan oleh PTPN VI.
Budaya
minum teh ditemukan oleh Kaisar Cina Shen Nung secara tidak sengaja tahun 2737
SM, yang ternyata sudah populer di daratan Cina pada 800 SM, yang dari Cina
dibawa ke Jepang oleh pendeta Budha, sehingga teh diasosiakan dengan ajaran
Zen, dengan rangkaian prosesi rumit dan indah, namun nilai Zen menghilang saat
menjadi kompetisi dan proses penyajian dikuasai oleh Geisha. Lalu Pangeran
Ikkyu (1394-1481) mengembalikan kemurnian uparaca minum teh di Jepang. Hingga
saat ini warga Tionghoa di Indonesia masih melakukan upacara minum teh sebelum
Upacara Pernikahan, sebagai tanda bakti kepada orang tua.
Di
Eropa sendiri mulai berkenalan dengan teh pada masa ekspansi Bangsa Portugis,
yang disebut “cha”, awalnya melalui istri Raja Charles II, Catherine of
Braganza, memperkenalkan kebiasaan minum teh ke Inggris Raya tahun 1660, dengan
ritual minum teh sore hari dengan waktu yang ketat, perkakas, tata krama dan
teman sepergaulan minum teh. Di Indonesia sendiri, tidak ada upacara atau acara
khusus minum teh dikalangan rakyat biasa, namun waktu jaman kolonial Belanda,
“tea time” ini hanya untuk kalangan bangsawan, adalah sebagai ajang
silahturahmi. Dan sekarang umumnya teh diminum pagi hari sebagai teman
sarapan atau menjelang sore hari.
Lalu
bagaimana bila kita ingin merasakan nikmatnya Teh Kayu Aro Grade 1? Terpaksalah
kita harus membelinya di Inggris atau di Brunai dengan harga tentu sangat
mahal. Ironis sekali ya…bangsa penghasil teh terbaik di dunia tapi tidak mampu
menikmati produk tanaman super dari bumi alam Indonesia sendiri.
Heheheh saya yakin
Jika bang Haji Rhoma membaca tulisan ini tentu akan berkata “TERLALU”.
Gabung dalam percakapan
Silakan berkomentar dengan bijak. Setelah anda mampir dan berkomentar, saya akan berkunjung balik. Jangan meninggalkan link hidup ya :)
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan kontak saya
+Email : eko.dony.prayudi@gmail.com
+Telp/WA : 0819 - 3210 - 9497
+IG/Twitter : @dodon_jerry