Ketika Ngopi Jadi Gaya Hidup

Nongkrong di kedai kopi sudah menjadi bagian gaya hidup warga Jakarta beberapa tahun terakhir ini. Tempat yang nyaman, fasilitas hotspot area serta suguhan kopi dan cemilan ringan memang ditujukan untuk membuat pengunjung betah berlama-lama disana. ngopi jadi budaya di Pontianak

Ini adalah Cerita perjalanan saya syuting program jalan jalan jajan di Kompas TV

Legenda kopi Pontianak, Asiang
Legenda kopi Pontianak, Asiang
Nongkrong di kedai kopi sudah menjadi bagian gaya hidup warga Jakarta beberapa tahun terakhir ini. Tempat yang nyaman, fasilitas hotspot area serta suguhan kopi dan cemilan ringan memang ditujukan untuk membuat pengunjung betah berlama-lama disana.

Menjamurnya kedai kopi gaul di ibukota membuat pengunjung kedai kopi terus bertambah meskipun terkadang kopi bukanlah tujuan utama mereka datang kesana. Seiring dengan meningkatnya mobilitas hidup dan modernitas perilaku, kedai kopi kini menjadi wadah pertemuan dengan rekan bisnis, arisan, serta tempat nongkrong anak muda ibukota.


Di Amerika Serikat budaya ngopi sudah dimulai sejak tahun 1971 ketika kedai kopi Starbucks yang terkenal itu untuk pertama kalinya dibuka di Pike Place, Seattle. Semula pengunjung yang datang ke kedai kopi itu adalah kaum pria. Mereka berkumpul sehabis jam kerja untuk sekedar melepas penat dengan secangkir kopi dan teman ngobrol yang juga sesama pengunjung.


Lama-kelamaan budaya ngopi ini menyebar ke seluruh penjuru Amerika dan akhirnya menjalar ke Eropa. Pengunjung kedai kopi pun tak lagi didominasi kaum pria tapi juga wanita dan bahkan kalangan remaja. Kedai kopi pun lebih dikenal dengan sebutan café untuk menggambarkan identitasnya sebagai wadah sosialisasi lewat kopi. Starbucks sebagai pelopor kedai kopi gaul pun berhasil melebarkan sayapnya dan membuka hingga 5.886 kedai di seluruh dunia, termasuk Jakarta.

Di Jakarta sendiri, budaya ngopi sudah mulai terlihat di awal tahun 1990-an ketika mall mulai menjamur. Pemerhati masalah bisnis, Kafi Kurnia, dalam tulisannya di laman situs Intisari mencatat 2 café pelopor yang muncul di Plaza Indonesia, yaitu Café Excelso dan Oh-La-La. Namun karena budaya mall saat itu lebih menekankan pada kegiatan ngeceng atau kumpul bersama teman, maka kedua café itu menawarkan nuansa yang berbeda dengan nuansa café di era millennium seperti sekarang.
Gaya ngopi modern yang sedang berkembang
Gaya ngopi modern yang sedang berkembang
Para pelaku bisnis yang jeli membaca pasar segera beramai-ramai membuka kedai-kedai kopi di Jakarta. Maklum, ibukota bisa dibilang sebagai lokasi yang latah dan cepat menyerap budaya luar. Tak heran bila sekarang kita bisa melihat kedai-kedai kopi franchise dari luar negri seperti Starbucks, Dome, Coffee Bean, dan Gloria Jean Coffee.
Seolah tak mau kalah, pengusaha lokal pun menciptakan kedai-kedai kopi asli dalam negeri yang diklaim menawarkan nuansa dan citarasa kopi berbeda dari yang ditawarkan kedai kopi asing yang sudah lebih dulu ada. Beberapa kedai kopi yang cukup berhasil di pasaran diantaranya Bengawan Solo Coffee, Bakoel Koffie, dan Golden Key Coffee.

Ketiga kedai kopi tersebut umumnya menawarkan racikan kopi yang lebih pas di lidah penikmat kopi nusantara, namun citarasa internasional tetap saja terasa. Hal itu bisa dilihat dari nama produk yang mereka tawarkan menggunakan bahasa Inggris dan penganan ringan di etalase kedai biasanya kue-kue cantik khas Eropa seperti tiramisu, cheese cake, dan aneka cokelat impor.
Legenda kopi Pontianak, Asiang
Legenda kopi Pontianak, Asiang
Bila Anda perhatikan, para pengunjung kedai kopi tak hanya kaum pria saja tapi juga wanita dan kalangan remaja. Bahkan tak jarang ekspatriat duduk santai menikmati kopi racikan tradisional di kedai kopi asli dalam negeri. Mereka umumnya berkumpul bersama teman untuk sekedar ngobrol, arisan, atau bias juga rapat dengan rekan bisnis. Itu artinya budaya ngopi telah menjadi identitas baru masyarakat Jakarta yang mengalami mobilitas hidup serta modernitas perilaku.
Jadi sudahkah Anda pergi ke kedai kopi hari ini?


Suasana warung kopi Hijas di Jalan Hijas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (22/10) siang. Warung kopi adalah salah satu ciri khas Kota Pontianak yang mengambil peran sebagai ruang publik dan etalase sosial, tempat berkumpulnya semua lapisan masyarakat.
Sungai Kapuas pernah sibuk sebagai jalur transportasi air pada tahun 1960-an. Dari sana lahir tradisi minum kopi di sekitar Pelabuhan Pontianak, Kalimantan Barat. Tempat rehat transportasi air itu lalu bersemi jadi penyangga kelas menengah di seluruh pelosok Kalbar.
Minuman kopi—dengan berbagai variannya—bahkan telah merambah ke kafe-kafe dan hotel-hotel berbintang di Pontianak. Warung kopi telah bermetamorfosis sebagai etalase sosial dan penggerak ekonomi masyarakat sekaligus.
Warung kopi di Pontianak adalah tempat berkumpul hampir semua kalangan dengan semua ragam karakternya. Riuh pembeli bisa dijumpai di hampir semua warung kopi di Pontianak, bukan hanya pada pagi atau siang, melainkan juga malam hingga hari berganti.
Pagi hari, orang datang ke warung kopi sebelum berangkat kerja atau masuk ke kantor. Siang hari, giliran para pekerja dengan mobilitas tinggi, seperti salesman dan pebisnis kelas menengah dan bawah yang memenuhi warung kopi. Malam harinya, orang-orang yang sudah suntuk dengan kesibukan siang hari melepas penat di warung kopi.
Gaya ngopi modern yang sedang berkembang
Gaya ngopi modern yang sedang berkembang
Jalan Gadjah Mada dan Jalan Tanjungpura merupakan pusat warung kopi di Pontianak. Selain toko-toko yang buka sejak pagi hingga dini hari, ada banyak pula warung kopi yang buka pada malam hari saja. Warung kopi juga mudah ditemui di pelabuhan dan pasar-pasar tradisional.
Pemilik Warung Kopi Winny, Heriwonoto (28), mengatakan, kebiasaan minum kopi di Pontianak sudah menggejala pada awal tahun 2000-an. Ketika itu orang mulai betah berlama-lama di warung kopi.
Melihat peluang itu, Heri mengubah warung kelontong milik orangtuanya, yang mulai sepi karena bertambahnya pasar swalayan, menjadi warung kopi. Winny lalu menjadi salah satu warung kopi terlaris di Jalan Gadjah Mada.

”Saya berangkat dari hobi minum kopi di beberapa warung kopi yang sudah ada dan melihat orang bisa betah berjam-jam ngobrol di warung kopi. Saya tangkap fenomena itu dengan menyediakan banyak meja bagi pembeli dan tidak membatasi jam duduk mereka,” tutur Heri.

Penyuka minuman kopi memang bisa menghabiskan waktu berjam-jam sambil ngobrol di warung kopi. Obrolan di warung kopi bisa mulai dari persoalan sehari-hari, isu terhangat, bisnis, hingga perbincangan politik.
Suraji (37) mengaku dalam sehari bisa beberapa kali memesan kopi di Djaja, warung kopi langganannya di Jalan Tanjungpura. ”Minum kopi sekaligus bisnis. Saya membeli dan menjual emas. Sering juga saya bertransaksi di warung kopi Djaja, tergantung kesepakatan dengan pembeli atau penjual,” kata Suraji.
Dari warung kopi bahkan bisa lahir keputusan-keputusan politik. Wakil Wali Kota Pontianak Paryadi mengakui, obrolannya di warung kopi ketika menjadi anggota DPRD Kota Pontianak membuahkan peraturan daerah.
Bahkan, sejumlah strategi kampanye ketika mencalonkan diri menjadi wakil wali kota Pontianak berpasangan dengan calon wali kota Sutarmidji pada tahun 2008 dirumuskan oleh Paryadi di sebuah warung kopi.
Di Kota Pontianak, jumlah toko yang memang khusus menjadi warung kopi ada sekitar 100 buah. Namun, ada lebih dari 100 toko lain yang tak melulu menjadi warung kopi. Ada yang, misalnya, juga sekaligus menjadi warung makan.
Kopi bubuk yang diperlukan satu warung kopi bervariasi 1 kilogram-5 kilogram per hari, tergantung dari sedikit atau banyaknya pembeli yang datang. Kopi bubuk ini diperoleh para pengusaha warung kopi dari perajin yang menggoreng dan menumbuk kopi sendiri. Biji kopi berasal dari petani lokal, di antaranya dari Singkawang.
Kopi yang biasanya menjadi kesukaan masyarakat Pontianak adalah kopi hitam yang disaring ampasnya. Namun, ada pula yang suka kopi susu—campuran kopi hitam saring dan krim.
Makin ramainya warung kopi tak terlepas dari harga murah yang ditawarkan. Satu gelas kopi hitam saring rata-rata hanya Rp 2.500, sedangkan satu potong makanan ringan Rp 1.500. Dengan uang sedikit, pembeli puas berlama-lama. Slruuup....cleguk!
Legenda kopi Pontianak, Asiang
Legenda kopi Pontianak, Asiang
Warung kopi pun turut menggerakkan perekonomian Pontianak karena menampung pekerja tanpa pendidikan khusus, seperti lulusan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.
Di Warung Kopi Winny, Pontianak, misalnya, Heri menampung 18 pekerja yang kebanyakan berasal dari Kabupaten Landak, Bengkayang, dan Kubu Raya.
Kakak beradik Ite (25) dan Rika (18) yang bekerja di Winny mengakui bahwa warung kopi itu telah menyelamatkan perekonomian keluarga mereka. ”Mereka yang baru bekerja mendapat gaji Rp 450.000, bulan kedua naik menjadi Rp 500.000. Kalau yang sudah lama, bisa mencapai Rp 1,1 juta. Itu gaji bersih karena kebutuhan sehari-hari untuk makan dan tempat tinggal sudah saya tanggung,” tutur Heri.
Warung kopi juga biasa menerima titipan makanan ringan dan makanan tradisional. Satu warung kopi mendapat sedikitnya 10 jenis makanan ringan dari 10 pembuat kue yang berbeda.
Budayawan Tionghoa, Lie Sau Fat atau XF Asali, menuturkan, kebiasaan minum kopi yang kini ada di Pontianak awalnya dibawa oleh sejumlah mantan koki kapal-kapal besar China ke Kabupaten Sambas, Kalbar. ”Mereka adalah etnis Hainan,” tutur Asali.

Asali sudah menjumpai toko kopi di Pemangkat, Sambas, sekitar tahun 1942. Dari Sambas, kebiasaan warung kopi itu lalu diikuti oleh masyarakat di pesisir hingga Pontianak. ”Di Pontianak, tradisi minum kopi makin ramai sejak 1969.”
Namun, warung kopi juga pernah menjadi lahan prostitusi terselubung di daerah Sungai Raya, Pontianak, era tahun 1970-an. Tahun 1990-an, kawasan prostitusi itu dibubarkan.
Etalase sosial bernama warung kopi tidak hanya mengukuhkan perubahan sosial yang ada, tetapi juga berfungsi sebagai penyangga kekuatan sosial ekonomi masyarakat kelas menengah dan bawah di sana selama beberapa dekade.

Apa jadinya pedalaman Kalbar dan Pontianak tanpa jejaring warung kopi.
Warga negara Indonesia yang cinta budaya dan kuliner Indonesia dan sekarang menetap di Pontianak. Berprinsip belajar terus menerus dan berusaha tetap dinamis. Berpikiran bahwa hasil tidak akan menghianati usaha serta percaya bahwa rejeki tidak mungkin tertukar.